Blog Post
16
Ukhuwah Ala Gontor
- oleh Admin
- Kategori: Artikel Tentang Pendidikan Pesantren
RUMAHEDUKASIDEPOK.COM, DEPOK — Darussalam nama pesantren itu. Tapi karena tempatnya di desa Gontor, maka nama desa itu lebih dikenal dari nama pondoknya. Artinya "kampung damai". Tempat dimana tidak ada perselisihan apapun disini yg tidak berakhir dengan damai. Di pesantren ini, yg namanya perkelahian adalah dosa besar, yg hukumannya adalah pengusiran. Semua persaingan, saling ledek, saling komentar, saling tuding, biasanya akan berakhir manis di kiftir (kantin) dengan satu ungkapan masyhur berusia hampir 1 abad..."Atlub qalil ye sul.." (minta dikit laaah..)
Disini kami dididik, bahwa perbedaan pendapat adalah hal wajar. Selama kita bisa menyikapinya dengan hati tenang dan kepala dingin, maka perbedaan adalah energi. Banyak nian perbedaan dan persaingan itu. Persaingan antara Drama Arena kelas lima dan Panggung Gembira kelas enam. Perlombaan antar Rayon (asrama), saling ledek antar POT (gugus depan), saling koyak antar kelompok olah raga, saling ejek antara sighar (anak-anak kecil, biasanya santri lulusan SD) dan kibar (anak dewasa, ya semua santri selain yg lilusan SD). Semua persaingan itu adalah energi dahsyat yg menelurkan ribuan kreatifitas yg asyik. Sehingga dari tahun demi tahun, kreatifitas santri Gontor tak pernah redup.
Disini pula kami diajar, bahwa selama perbedaan itu berlaku pada masalah fiqih dan bukan aqidah, maka itu hakekatnya adalah perbedaan penafsiran dan itu juga wajar. Maka itu di Gontor, jika ada keluarga pondok yg wafat maka dibacakan Yasin, meskipun tidak ada acara 3 harian, 7 harian dst. Di sini Imam subuhnya kadang pakai qunut, kadang tidak pakai qunut. Disini shalat tarawih 11 rokaat tapi ada bacaan sholawat di antara sholat tarwih. Disini juga ada liburan tahun baru Islam dan peringatan nuzulul quran, tapi tidak ada peringatan maulud. Semua dilakukan untuk memberitahu kami para santrinya, bahwa khilafiyyah itu tidak perlu disikapi berlebihan. Cukup lakukan apa yg kita yakini, lalu hormati yg belum melakukannya...dan Ukhuwah Islamyya jauh lebih mahal dari semua itu..
Di Gontorlah kami diajarkan, bahwa ilmu itu netral. Tidak di kenal ilmu NU, tidak ada ilmu Muhammadiyah, ilmu wahaby, dan sebagainya. Di kelas satu, kelas perdana kami diajari ilmu aqidah dengan madzhab ahlu sunnah wal jamaah. Baru dikelas empat, dimana kami sudah belajar seperangkat ilmu lain, maka kami diberitahu ada pandangan lain soal aqidah Islamiyah ini. Dengan pemahaman yg berbeda yg mungkin agak bertentangan. Tapi kami diajarkan juga, bahwa selama apa yg diyakini itu berdasarkan dalil yg sohih, maka perbedaan penafsiran itu menjadi sesuatu yang wajar, bahkan menambah wawasan keilmuan Islam yg berkembang dari waktu ke waktu..
Di Gontor pula, kami di ajari untuk tidak fanatik. Silahkan cinta mati kepada NU sampai mati, cinta Muhammadiyah sampai wafat, cinta tarbiyah sampai wafat, cinta tarbiyyah sampai pingsan, atau cinta ormas yg lain sampai tingkat dewa, tapi ingatlah semua itu cuma wasilah (perantara) dan bukan Ghoyah (tujuan). Buat apa-apa mati2an membela washilah sedangkan Ghoyah tersentuh juga tidak. Demikianlah, kami boleh cinta Rayon sampai ubun-ubun, cinta POT sampai habis-habisan, cinta kelompok olah raga sampai lelah, tapi tidak akan melebihi cinta kami kepada persaudaraan, cinta kami kepada ukhuwwah...cunta kami kepadr tali Agama Allah...
Kami cinta kelompok kami...tapi lebih cinta ukhuwwah tertanam dalam hati.
Tulisan : diambil dari FB Ustad Rachmatullah Oky
Rep : Ustad Awaluddin Faj
Komentar
Belum Ada Komentar