Blog Post
05
Summerhill School, Pendidikan Alternatif yang Membebaskan
- oleh Admin
- Kategori: Artikel Pendidikan
RESUME BUKU
Judul Buku : Summerhill School, Pendidikan Alternatif yang Membebaskan
Penulis : AS Neill
Penerjemah : Agung Prihantoro
Penerbit : Serambi, Jakarta, Juni 2007
Tebal : 356 halaman
Pendahuluan
Kalau kita telaah tentang diterbitnya buku tentang Summerhill school “Pendidikan Alternatif yang Membebaskan”. Buku ini sengaja dibuat yang mana bertujuan untuk pengetahuan dan pengembangan pendidikan dengan menjadikan kebebasan menjadi jalan alternafit barhasilnya sebuah pendidikan. Summerhill school adalah sekolah yang didirikan oleh Alexander Sutherland Neill pada tahun 1921 di Jerman dan kemudian dipindah ke Suffolks, sekitar 160 km dari London. A.S Neill menerapkan prinsip swakelola dalam mengelola sekolah ini. Anak-anak diberikan kebebasan sepenuhnya untuk tumbuh dan berkembang sendiri. Prinsip egaliter, demokratis dan liberal sangat terasa disini.
Prinsip demokrasi ini diterapkan dengan adanya Rapat Umum yang diadakan setiap malam Minggu, dengan dihadiri seluruh siswa Summerhill dan staf sekolah serta kepala sekolah (A.S Neill). Setiap peserta rapat memiliki hak suara yang sama. Hak suara staf sekolah, bahkan kepala sekolah pun memiliki bobot yang sama dengan hak suara murid umur tujuh tahun.
Sedangkan prinsip swakelola ini adalah staf sekolah dan siswa dibebaskan untuk belajar atau mangkir, dibebaskan untuk bermain selama mungkin yang mereka mau, bebas dari indoktrinasi agama, moral, politik dan pembentukan karakter. Bagi penganut konvensional, penanaman nilai moral & tata krama harus ditanamkan sejak kecil. Bahkan banyak yang menyebut Summerhill school adalah "Sekolah Sesukamu", yang menyiratkan bahwa sekolah ini sekedar kumpulan anak primitif dan liar yang tak mengenal aturan & tata krama. Namun bagi Neill, anak memiliki sifat bawaan bijaksana dan realitas. Selama dibiarkan begitu saja tanpa arahan apa pun dari orang dewasa, anak akan berkembang dengan sendiri sejauh kemampuannya.
Mungkin akan banyak cibiran tentang pola pendidikan Neill
ini. Namun, pada kenyataannya, Summerhill berhasil mencetak alumnus yang sukses
dengan berbagai profesi. Dokter, musisi, dosen, pengusaha, insinyur dan
berbagai profesi lainnya yang berpikiran terbuka & maju, jujur, tekun,
optimis, dan yang terpenting adalah bahagia menjadi dirinya sendiri.
Menelaah Nilai Historis Summerhill School
“Nenek ingin saya memperoleh pendidikan, karenanya ia tidak mengizinkan saya sekolah.” (Margaret Mead)
Kalimat diatas sebenarnya unspoken words dari para orangtua yang memilih opsi homeschooling. Yang mana kini mulai ngetrend di Indonesia. Homeschooling sebagai jawaban atas masalah pendidikan anak mereka. Sehalus apapun kata-kata yang dipergunakan orangtua dalam menjelaskan alasan mereka memilih homeschooling untuk anak mereka, keputusan itu tetap menyiratkan adanya ketidakpuasan pada sekolah formal. Sekolah formal dianggap tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan pendidikan anak. Maka dialihkanlah pendidikan dari sekolah ke rumah. Alexander Sutherland Neill (1883-1973) memiliki posisi sama terhadap sekolah formal. Sebuah gagasan untuk membuat anak-anak cocok dengan sekolah, maka ia berinisiatif untuk membuat sekolah yang menurutnya cocok untuk anak-anak. Maka pada 1921, ia dirikan Summerhill School. Pada mulanya Summerhill berlokasi di Jerman, kemudian pindah ke Austria, dan terakhir menetap (sampai sekarang) di Leiston, Suffolk, Inggris, sekitar 160 km dari London. Kepindahan-kepindahan ini dikarenakan tidak semua negara mengizinkan sekolah nyentrik semacam Summerhill terselenggara. Bagaimana tidak, ide dasar Summerhill nyaris berkebalikan dengan kebijakan tentang penyelengaraan pendidikan formal di negara mana pun. Sebagaimana yang dipaparkan dalam bukunya “Summerhill School, Pendidikan Alternatif yang Membebaskan” ini, pasti kita akan mengetahui, bagaiamana Neill menganggap sekolah pada umumnya sangat membosankan dan tidak berguna buat anak-anak. Anak-anak dicekoki dengan hal-hal yang sebenarnya belum tentu terpakai dalam kehidupan mereka kelak. Saat lulus anak tidak tahu how to survive karena ia tidak pernah belajar bagaimana sebenarnya harus hidup. Sekolah mengajarkan apa-apa yang hanya terpakai di ruang-ruang kelas, bukan apa-apa yang akan anak-anak hadapi dalam dunia nyata di luar sana. Belum lagi hubungan guru dan murid yang bersifat paternalistik. Guru adalah dewa yang serba tahu, serba benar, dan serba berkuasa. Sementara murid seperti kerbau yang dicocok hidungnya. Harus selalu patuh dan dipilihkan segala sesuatunya. Hubungan seperti itu membuat anak menjadi inferior sepanjang hidupnya. Ketakutan terhadap guru kelak dijabarkan menjadi ketakutan terhadap hidup. Maka jadilah mereka orang-orang yang selalu manut pada perintah para penguasa. Membutakan mata terhadap ketidakadilan meskipun jelas-jelas tengah terjadi di depan batang hidung mereka. Dalam istilah Neill, “guru menjadi penggembala yang membuat kambing-kambing bersuara sama, embik.. embik…” Anak-anak yang berani menentang dan mengkritik gurunya malah dianggap anak bandel yang sudah sepantasnya disetrap dan diganjari hukuman. Lain halnya dengan Summerhill. Boarding school untuk anak usia TK hingga SMA ini tidak mewajibkan anak-anak mengikuti pelajaran-pelajaran yang ditawarkan sekolah. Tidak ada ujian yang wajib ditempuh. Tidak ada secuil pun kewajiban yang harus ditunaikan di sana kecuali tidak boleh mengganggu orang lain. Anak boleh melakukan apapun sekehendak hatinya sepanjang waktu, selama tidak mengganggu orang lain. Bagi mereka yang tidak tertarik pada hal-hal akademis boleh melakukan kegiatan-kegiatan di bengkel-bengkel kerja, laboratorium, ruang-ruang kesenian, teater, olahraga, perpustakaan, atau di ladang. Mereka bahkan boleh bermain saja berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun kalau perlu. Anak dibebaskan sepenuhnya untuk mengelola diri mereka sendiri. Mereka boleh mempelajari hanya apa yang mereka suka. Anak belajar memilih dan mengambil sendiri keputusan yang ia rasa terbaik bagi dirinya dan belajar menikmati manis-pahit konsekuensi dari pilihannya. Tidak ada jurang pemisah antara guru dan murid. Guru dipanggil dengan nama depan mereka. Summerhill membebaskan anak dari indoktrinasi agama, moral, politik, dan pembentukan karakter. Peraturan sekolah dibuat sendiri oleh seluruh anggota komunitas Summerhill melalui Rapat Umum yang diselenggarakan setiap pekan. Guru dan murid sama-sama punya satu suara. Dalam rapat itu, siapa yang merasa pernah diganggu oleh orang lain, boleh mengadukannya dan rapat akan memutuskan konsekuensi apa yang pantas diberikan pada si terdakwa yang terbukti bersalah. Guru yang dirasa mengganggu anak atau merugikan sekolah pun boleh “diadili” dalam forum ini. Terdakwa maupun suara minoritas yang merasa keputusan rapat tidak adil, boleh naik banding. Tidak ada yang disebut Margaret Mead sebagai “tirani komunitas” yang menindas individu. Setiap pekan pemimpin rapat dipilih secara bergiliran sehingga setiap siswa mendapat kesempatan yang sama untuk belajar memimpin dan berbicara di depan publik. Siswa senior dipilih menjadi ombudsman yang bertugas menerima keluhan dari mereka yang pernah diganggu orang lain sekaligus melaporkannya pada forum di saat rapat umum. Para siswa senior memang lebih peduli ketertiban dan keteraturan dibanding siswa-siswi junior yang masih egosentris. Dapat dikatakan merekalah jantung demokrasi yang dilaksanakan di Summerhill. Selain ombudsman, anak-anak juga membentuk komite-komite olahraga, teater, perpustakaan, pertiduran, dan lain-lain yang dipilih di antara mereka sendiri. Summerhill menjadi semacam miniatur masyarakat, bahkan negara. Bagi mereka yang memang ingin kuliah, biasanya baru benar-benar menggenjot diri untuk belajar hal-hal akademis menjelang ujian masuk perguruan tinggi saja. Tidak seperti siswa sekolah pada umumnya yang mempelajari hal tersebut belasan tahun sebelumnya. Dan ternyata banyak juga yang berhasil lolos. Lulusan Summerhill beragam: ada yang jadi insinyur, dokter, dosen, pemusik, pengusaha, mekanis, koki, editor, guru, juru kamera, petani, pengrajin, dan segala macam profesi lainnya. Tapi satu hal yang sama: mereka sama-sama berpikiran maju, percaya diri, terbuka, jujur, tekun, optimistis, dan di atas segalanya, berbahagia. Neill memang menganggap lebih baik seseorang menjadi tukang sapu yang bahagia (meskipun Summerhill belum pernah mencetak tukang sapu) ketimbang sarjana neurotik.
Analisis Penulis
Perlu kita jelaskan, bahwasannya Pendidkan menjadi salah satu komponen penting dalam kehidupan bernegara, disamping komponen politik, ekonomi, sosial dan budaya. Yang mana memiliki peran yang sangat strategis dalam menyiapkan generasi masa depan. Fungsi rekayasa sosial yang dimainkan oleh pendidikan tersebut sangat efektif dilakukan melalui transmisi dan trasnformasi intelektual yang memang selama ini dilakukan oleh dunia pendidikan. Pendidikan juga memiliki power untuk menyusup seluruh aspek kehidupan dan sekaligus merubahnya. Pendidikan adalah sebuah proses pengembangan potensi setiap anak didik. Setidaknya ada tiga potensi peserta didik yang tidak bias ditawar-tawar lagi untuk dikembangkan secara selaras, serasi, seimbang melalui proses pendidikan, yaitu :
1) al-Quwwatu al-Aqliyah yang berpusat pada otak (head / keceradasan akal)
2) AL-Quwwatu al-Khuluqiyah yang berpusat pada dada (heart)
3) al- Quwwatul al- Jismiyyah yang terletak pada tangan (hand) untuk berkerja dan berbuat.
Ide Summerhill bagi saya memang terlampau ekstrem untuk diterapkan pada anak-anak kita. Hemat saya, anak belum memiliki cukup pengalaman hidup seperti halnya orang-orang dewasa sehingga referensi untuk dapat memilih segala sesuatunya sendiri masih sangat minim. Sampai usia remaja, saya rasa anak juga sebaiknya masih tinggal bersama orangtuanya agar dapat menerima cukup kasih sayang yang mereka butuhkan. Tapi, meskipun tidak sepenuhnya sepakat dengan cara mendidik yang ditempuh Neill, banyak ada juga ide-ide Neill yang saya rasa harus kita akui konstruktif. Neill memandang kehidupan di luar kelas lebih penting ketimbang di dalam kelas. Neill ingin anak-anak belajar tentang hidup secara utuh, bukan hanya belajar hal-hal yang bersifat akademis. Seperti Paulo Freire, Neill sepenuhnya mendukung egaliterianisme dalam proses pendidikan. Anak boleh berbeda dan berani menjadi dirinya sendiri tanpa dikuasai rasa takut pada apapun dan pada siapapun. Anak harus menyadari haknya sebagai manusia dan harus memperjuangkan kebahagiaanya. Selain itu, Neill juga memberi kesempatan pada anak untuk benar-benar belajar menjadi anggota komunitas sesungguhnya. Kebebasan yang diberikan Neill pada anak untuk ikut atau mangkir dari pelajaran-pelajaran yang ditawarkan sekolah pun dapat dijadikan tantangan oleh guru agar selalu kreatif menciptakan suasana belajar yang fun. Seperti homeschooling.
Dari buku ini, mungkin Summerhill layak dijadikan cermin bagi sekolah formal manapun untuk selalu meningkatkan kualitas pendidikan mereka. Harus selalu kita pertanyakan apakah anak-anak telah mempelajari hal-hal yang benar-benar mereka butuhkan dalam kehidupan mereka kelak. Semoga kita selalu bisa berinovasi dalam pendidikan.
Komentar
Belum Ada Komentar