Blog Post
06
SEKILAS TENTANG “DARUSSALAM” GONTOR
- oleh Admin
- Kategori: Artikel Tentang Pendidikan Pesantren
SEKILAS TENTANG “DARUSSALAM” GONTOR
Oleh: Nashrulloh ZM Zarkasyi
Muqaddimah
PERBINCANGAN tentang pondok pesantren serasa tak habis-habisnya mengemuka. Selain bentuknya yang unik dan beragam, pondok pesantren sendiri memang memiliki banyak fenomena. Berbagai penelitian tentang isi pondok pesantren, sistem pesantren, sampai peranan pesantren ditinjau dari berbagai segi, pun telah berpuluh kali dilakukan. Namun, penelitian masih saja berlanjut, sampai kini. Sekedar mengingatkan, meskipun tidak secara khusus meninjau pondok pesantren, Clifford Geertz (1960) telah meneliti fenomena ini dengan bukunya yang sangat terkenal Religion of Java. Karel A. Steenbrink, peneliti asal Belanda, pernah “mondok” ke sejumlah pesantren untuk menulis skripsi sarjananya Pesantren, Madrasah, Sekolah: Recente Ontwikkelingen in Indonesisch Islamoderricht (1974), Kemudian Zamakhsyari Dhofier (1982) menulis disertasi dengan judul Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Manfred Ziemeck, orientalis asal Jerman, pada tahun 1983 menulis tentang Pesantren Islamische Bildung in Sozialen Wandel, juga untuk disertasinya. Dan, yang terbaru, Martin Van Bruinessen (1995) mengungkap pesantren dari sisi kitab yang dipelajarinya, dalam buku Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia; dan berbagai tulisan sejenis lainnya. Namun itupun belum cukup memadai untuk mengungkap gambaran pesantren secara lengkap.
Pada awal abad 20-an, muncul kembali Pesantren Gontor baru, titisan dari Pesantren Gontor Lama dan Pesantren Tegalsari yang masyhur pada abad sebelumnya. Kemunculan kembali Pondok Gontor baru yang mengusung sistem modern, tak pelak lagi menarik minat sejumlah peneliti dan pengamat untuk mengkajinya. Terlebih lagi, Pondok Modern Darussalam Gontor (selanjutnya akan disebut Gontor atau Pondok Gontor saja) adalah pondok pesantren yang bermutu lagi telah menghasilkan. Penelitian tentang Pondok Gontor secara khusus agaknya masih sangat jarang dilakukan, mengingat peranan Pondok Gontor sebagai pelopor dan perintis lembaga pendidikan Islam modern sangat menonjol dalam dunia pendidikan nasional maupun pendidikan Islam. Kalaupun ada, hanya sebatas reportase singkat yang dikemukakan oleh sejumlah media massa. Sebenarnya cukup banyak dokumentasi tentang Pondok Gontor yang dibuat sendiri oleh pondok tersebut. Namun, jarang sekali dilakukan ekspose keluar, demikian pula tentang sosok kyai pendirinya. Hal ini lebih disebabkan keinginan Pondok Gontor untuk tidak dianggap menggurui lembaga pendidikan lain yang sudah mapan dengan sistem yang berbeda, serta kepribadian kyai pendiri yang tak ingin ekspose tentangnya menjadi racun yang akan melemahkan jiwa jihadnya. Baru ketika dilakukan penulisan biografi Imam Zarkasyi, data-data tersebut sedikit terkuak, seiring dengan wasiatnya kepada anak-anaknya bahwa biografinya boleh ditulis setelah beliau wafat.
Di antara hal yang menarik dari Pondok Gontor adalah kemunculannya yang menyandang sintesa empat unsur, yakni Syanggit dan Al-Azhar di kawasan Benua Afrika, serta Syantiniketan dan Aligarh di India, anak benua Asia. Pasalnya, para pendiri Pondok Gontor adalah orang-orang yang —ketika mendirikan— sama sekali belum pernah menyaksikan secara langsung keberadaan keempat lembaga pendidikan yang menjadi ide sintesanya. Apalagi, pada masa itu —sekitar tahun 1926, ketika Pondok Gontor didirikan— informasi sangat minim dan sulit didapat, namun pendiri Pondok Gontor telah “melihat” dan mendengar kehebatan titik-titik sintesanya. Idealisme pendirinya itulah letak kemenarikan Pondok Gontor.
Panca Jiwa dan Panca Jangka “Darussalam” Gontor
Letak keberhasilan dan kekuatan Pondok Gontor sebenarnya ada pada beberapa hal, yakni status pemilikannya yang wakaf murni; pendidikan Panca Jiwa, pencanangan Panca Jangka; serta penerapan disiplinnya yang cukup ketat. Dengan status wakafnya, suksesi kekyaian di Pondok Gontor tidak lagi genealogis, melainkan demokratis. Lembaga tertingginya bukan kyai atau keturunannya, melainkan Badan Wakaf. Sehingga, arogansi dan dominasi keturunan kyai atau kyai pendiri, yang —di kalangan pesantren— selama ini begitu menonjol, menjadi tereduksi. Di Gontor, keturunan kyai mungkin menjadi kyai jika tamat lembaga pendidikan tersebut. Saat ini, keturunan pendiri yang menjadi anggota Badan Wakaf hanya sedikit jumlahnya, sehingga kecil kemungkinan mendominasi peran dan kewenangan, apalagi jika memang tidak memiliki potensi.
Kekhasan lain dari Pondok Gontor adalah diajarkannya secara eksplisit dan intensif jiwa-jiwa pesantren, yakni keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, ukhuwwah Islamiyah, dan kebebasan; serta ditunjang dengan motto: berbudi tinggi berbadan sehat, berpengetahuan luas, dan berpikiran bebas. Agar tertanam secara mendalam, Pondok Gontor mengajarkannya setiap awal tahun, kemudian ditopang dengan pelaksanaan kontrol disiplin yang ketat. Sedangkan Panca Jangka adalah upaya Pondok Gontor untuk tetap melestarikan eksistensinya. Bahwa pondok bukan hanya milik perorangan saja. Pondok Gontor adalah pondok kaderisasi. Artinya, siapa pun yang menjadi kader pondok —bukan hanya keturunan pendiri— mempunyai kewajiban memperjuangkan kelangsungan hidup pondok. Maka, mereka harus memikirkan kelima jangka yang dicanangkan oleh pendirinya, yakni (1) Pendidikan dan Pengajaran, (2) Sumber Pembiayaan, (3) Pergedungan, (4) Kaderisasi, dan (5) Kesejahteraan Keluarga. Dengan demikian, Pondok Gontor akan tetap hidup abadi, meski, misalnya, tidak ada lagi keturunan kyai di dalamnya. Sebab, orientasi Pondok Gontor adalah nilai, bukan darah pendiri. Sebaliknya, jika para kader Pondok Gontor tidak lagi memperhatikan landasan di atas, Pondok Gontor (na‘udzubillah) akan hancur dimakan zaman.
Pondok Gontor juga termasuk pondok yang berani melakukan inovasi, di antaranya tidak mengajarkan kitab kuning dengan metode wekton, sorogan, bandongan, dsb., melainkan denetode fathul kutub. Pondok Gontor juga lebih memilih kitab Bidayat al-Mujtahid untuk pengajaran fiqih pada kelas tinggi, ketika pondok pesantren lain lebih memilih kitab Fathu al-Mu'in, Fathu al-Qarib atau Taqrib, dan hanya dua pondok pesantren saja yang “berani” mengajarkan kitab Bidayat al-Mujtahid (Bruinessen, 1995: 115). Gontor memilih metode tersendiri dalam mengajarkan tentang Islam, memahamkan tentang agama kepada para santrinya. Begitu juga dalam pengajaran Bahasa Arab dan Bahasa Inggris, misalnya, Pondok Gontor lebih mendahulukan bahan daripada alat, mendahulukan contoh daripada kaidah/teori. Pelajaran, Nahwu, Sharaf, atau Grammar baru diajarkan setelah murid-murid menguasai sejumlah kosa kata secara produktif. Karenanya pula, di Gontor pelajaran ibadah, aqidah, sejarah Islam, dan sebagainya, pada awalnya diajarkan dalam bahasa Indonesia, baru setelah murid sedikit menguasai bahasa Arab, materi-materi itu disampaikan dalam bahasa Arab.
Sebagaimana pondok pesantren lainnya, fenomena Pondok Gontor bukan hanya sosok pendiri, lengkap dengan ide-idenya, yang kemudian mampu menciptakan sebuah lembaga pendidikan yang cukup monumental. Dalam dua kesempatan berbeda, dua orang yang berbeda mengatakan hal yang sama tentang Pondok Gontor. Yakni, bahwa Pondok Gontor adalah pusat kebudayaan dan pembudayaan. Adalah Emha Ainun Nadjib, budayawan yang pernah selama sekitar 3 tahun mengenyam pendidikan Pondok Gontor. Dia terkejut dan sedikit sinis ketika D. Zawawi Imron, karibnya asal Madura berkehendak mendirikan pesantren budaya. Meski belum jelas apa maunya, segera saja Emha berkomentar, “Kalau Zawawi akan membuat pesantren budaya, suruh dia lihat Gontor, sebab apa yang dimaksud, semua ada di Gontor.” Sementara itu, Prof. Dr. Eng. H. Moh. Zuhal, M. Sc., mantan Menristek era Presiden B.J. Habibie, dalam kunjungannya ke Pondok Gontor mengatakan:
“Saya kira Pondok Modern Gontor ini bukan sekedar lembaga pendidikan, melainkan sudah merupakan lembaga pembudayaan. Di dalamnya telah diajarkan tentang bagaimana kebiasaan hidup sehari-hari secara Islam.”
Sejalan dengan kedua tokoh di atas, Dirjen Dikdasmen, Dr. Ir. Indra Jati Sidhi, berpendapat bahwa pendidikan yang baik saat ini adalah pendidikan broad based education, yang mengajarkan life skill; pendidikan yang mampu membuat orang menjadi mandiri, sehingga akan percaya diri dan dengan demikian akan memiliki harga diri. Menurutnya, Pondok Gontor memiliki syarat itu, memenuhi kriteria itu. “Maka, sebaiknya pondok-pondok pesantren meniru sistem Pondok Gontor,” demikian komentarnya, saat berkunjung ke Gontor.
Beberapa Kesalahan Persepsi tentang Gontor
Ada kesalahan mendasar para alumni atau non-alumni Gontor melihat dan berpendapat tentang sistem Gontor. Pada umumnya, mereka mengadopsi sebagian-sebagian atau sepotong-sepotong tentang sistem Gontor. Misalnya, pengajaran Bahasa Arab dan Inggrisnya saja, sistem asramanya saja. Padalah, Gontor bukan hanya itu. Gontor lebih luas dan lebih kompleks dari itu. Memang, ada hal yang bersifat prinsipal, meski ada pula yang kondisional dan temporal. Namun, bahwa Gontor adalah KMI, berasrama, tidak ikut ujian negara, tidak mencampur antara santri putra dan putri, dsb.-dsb., adalah sesuatu yang tak bisa ditawar. Dalam sistem KMI ada nilai keikhlasan, kesabaran, ketekunan, dan keistiqamahan. Dengan harus bersekolah dan dididik selama 4 atau 6 tahun seorang santri dituntut keikhlasan, kesabaran, ketekunan, dan keistiqamahannya. Demikian pula para gurunya. Untuk mengajar kelas V dan VI dibutuhkan guru senior; bukan hanya dalam usia, namun juga senior dalam ilmu dan pengalaman. Untuk itu diperlukan proses, pengalaman mengajar secara gradual dan kontinu. Mulanya, mereka mengajar kelas I, lantas kelas II, III, IV, kelas V dan baru kemudian boleh mengajar kelas VI. Apalagi jika sejak mengajar kelas I dia telah mengajar mata pelajaran tertentu, maka akan kian sah dan lengkaplah profesionalitas dan kematangan guru tersebut. Mungkin, usianya belum mencapai 30 tahun, namun pengalaman mengajar dan mendidiknya akan membuatnya profesional, mumpuni, melebihi guru yang hanya mengajar tanpa mendidik. Bagi Gontor pendidikan tidak diartikan secara sempit, yakni hanya interaksi guru-murid di dalam kelas saja. Pendidikan bagi Gontor adalah juga melalui pengalaman, penglihatan, pendengaran, serta perasaan. Hal yang sama dilakukan oleh setiap etnis ketika melakukan penetrasi dan regenerasi dalam rangka tranfer nilai demi kelangsungan hidup etnisnya. Sehingga, wajar jika kehidupan di Gontor disejajarkan dengan kehidupan sebuah etnis, unik, khas, spesifik.
Gambaran lebih jelas tentang pola atau sistem penyelenggaraan pendidikan modern menurut Pondok Gontor, seperti bagaimana kehidupan kyai; bagaimana mengatur organisasi santri; bagaimana mengajarkan etiket pergaulan universal; atau bagaimana setiap individu di Pondok Gontor diatur, dan lain sebagainya, masih memerlukan gambaran yang lebih jelas. Sayangnya, hal ini belum pernah dilakukan, terutama oleh Gontor sendiri.
Pondok Gontor sebenarnya memiliki banyak sisi, yang semuanya menarik untuk dibincangkan, baik dari sudut pendidikan, sosial, budaya. Menulis tentang Pondok Gontor sama menariknya dengan menulis etnografi sebuah komunitas etnis tertentu. Sebab, kecuali deskripsi pemikiran atau ide para pendirinya, sebenarnya Pondok Gontor juga memiliki “daya tarik ilmiah” lainnya, yakni dari sisi seluk beluk, suka duka, atau perilaku hidup para santrinya. Kemodernan Pondok Gontor sebenarnya juga terletak pada ke-egaliter-an pergaulan para santrinya. Meskipun heterogenitas santri Pondok Gontor —terutama dari sisi etnis— sangat tinggi, mereka telah berhasil disaudarakan. Di sinilah kekuatan dan keberhasilan Pondok Gontor dalam memasukkan jiwa ukhuwwah Islamiyah. Pondok Gontor adalah “Darussalam”, ‘kampung damai’; orang boleh bersaing demi kebaikan di dalamnya, namun tak boleh berkelahi. Suasananya sangat non-sektarian, kelonggaran bersaing dengan tanpa dendam adalah sekedar memupuk rasa syukur bagi pemenang dan ujian kesabaran bagi yang kalah, untuk kemudian kembali bangkit memperbaiki diri, demi mempersiapkan persaingan berikutnya, yang tetap fastabiqul khairat.
Tak ada kekuatan dan kewenangan berlebih pada organisasi daerah, yang di Pondok Gontor disebut dengan istilah “konsulat”. Masalahnya, tak menutup kemungkinan para anggota konsulat tersebut berasal dari etnis yang beragam pula. Anggota Konsulat DKI Jaya, misalnya, jelas akan terdiri dari unsur etnis Sunda, Batak, Ambon, Jawa, dan tentu saja Betawi. Demikian Konsulat Surabaya, Yogyakarta, Kalimantan, dan sebagainya. Di Pondok Gontor mereka akan di-Indonesia-kan lebih dalam lagi. Wajah Gontor secara nasional pun, dapat terlihat dari kiprah para alumninya. Sosok-sosok seperti K.H. Hasyim Muzadi yang Ketua Nahdlatul Ulama; Prof. Dr. Dien Syamsuddin yang ketua Muhammadiyah; atau Dr. Hidayat Nur Wahid (Presiden Partai Keadilan), Abu Bakar Ba‘asyir (Ketua Majelis Mujahidin Indonesia dan Pimpinan Pondok “Al-Mukmin,” Ngruki), serta sosok lainnya yang tersebar di pelosok Nusantara merupakan wujud nyata keberhasilan pendidikan Gontor yang demokratis. Mereka sama-sama berangkat dari Gontor, dan Gontor pula muara yang sanggup menyatukan perbedaan mereka.
Sejarah Pondok Gontor tak dapat dimanipulasi. Memang, Ahmad Sahal-lah pelopor bangkitnya kembali Pondok Gontor lama, ketika dua orang adiknya, Zainuddin Fannani dan Imam Zarkasyi masih sangat belia. Namun, tak bisa disangkal pula bahwa kedatangan Imam Zarkasyi dari perantauannya di Padang untuk menimba ilmu dari Mahmud Junus —alumni pertama Fakultas Darul Ulum Cairo University dari Indonesia— menyebabkan Pondok Gontor berkembang pesat, terutama setelah dibukanya jenjang pendidikan Kulliyatu-l-Mu‘allimin al-Islamiyah (KMI). Imam Zarkasyi tersiratkan sebagai direktur intelek sekolah itu (Castles, 1990: 2). Almarhum Ust. Shoiman yang mengalami masa awal berdirinya KMI pun sering mengatakan:
“Pak Zar (K.H. Imam Zarkasyi) mengajar hampir semua mata pelajaran pada awal berdirinya KMI, sebelum kemudian berdatangan sejumlah guru bantuan Mahmud Junus, atau para santri yang memang telah menguasai sejumlah pelajaran tertentu, lulusan lembaga pendidikan sebelumnya, serta santri senior hasil didikannya.”
Sering terjadi kesalahan persepsi tentang Pondok Gontor, akibat minimnya informasi yang diterima. Dikatakan, Pondok Gontor tertutup, tidak membaur dengan masyarakat sekitar. Kyainya (K.H. Imam Zarkasyi) memiliki otoritas dan kepercayaan diri sendiri berlebihan.[1] Jawabnya, memang begitulah cara Pondok Gontor mendidik santrinya, yang tak sekedar mengajarkan kepada santrinya pergaulan lokal (sebatas desa Gontor) atau regional, melainkan pergaulan nasional, bahkan internasional, global-universal. Pondok Gontor memang mengajarkan kehidupan, bukan sekedar sekolah. Pengasramaan santri bertujuan mengkonsentrasi-kan dan mengintensifkan pendidikan kepada para santrinya. Berkumpulnya kyai dan santri dalam satu tempat dan dalam waktu yang panjang adalah untuk pendidikan; ada yang dicontoh dan mencontoh. Tanggung jawab kyai dan para guru kepada para santrinya penuh 24 jam. Karenanya, kyai perlu memiliki rasa percaya diri yang tinggi, demi memupuk rasa percaya para santrinya. Untuk itu, seorang santri yang memasuki lembaga pendidikan Pondok Gontor harus benar-benar siap mental, lahir-bathin: pindah sekolah, rumah, dan ganti suasana kehidupan.
Keyakinan Pondok Gontor terhadap metode pendidikan yang diterapkan juga ditunjukkan dengan tidak adanya organisasi orang tua siswa, sebagaimana terdapat di lembaga pendidikan lainnya, seperti sekolah umum. Ketika akan masuk mendaftar, seorang santri dan orang tuanya harus sudah paham betul, bahwa mereka harus ikhlas melepaskan anaknya untuk dididik oleh sang kyai, oleh Pondok Gontor. Bahkan, harus rela kalau suatu saat si anak tiba-tiba menemui ajal ketika belajar di pondok, sebab sekolah di pondok sama halnya dengan berjihad; kalaupun mati dia akan mati syahid, surga balasannya. Untuk memantapkan niat menuju pemahaman itu, Pondok Gontor mengajarkan pelajaran Mahfuzhat, dan Hadits yang penuh berisi gemblengan perjuangan.
Ada lagi kesalahan persepsi tentang kaitan Gontor dengan ormas Islam. Berulang kali disoal, Pondok Gontor itu NU atau Muhammadiyah? Ada dua kesalahan di sini. Pertama, menganggap Gontor sebagai ormas; padahal lembaga pendidikan, sedangkan NU & Muhammadiyah adalah ormas. Bahkan, tahun berdirinya Gontor pun sama dengan NU, 1926. Kedua, di Indonesia ormas Islam bukan hanya NU dan Muhammadiyah saja. Banyak santri Gontor yang latar belakang ormas orang tuanya bukan keduanya, tetapi Persis, Jami‘ah Washliyah, Nahdlatul Wathan, dan sebagainya. Yang perlu diketahui khalayak, santri Gontor dilarang membawa bendera ormas, partai, apalagi suku. Yang ada di Gontor adalah komunitas Islam. Itu saja. Baru, setelah menyelesaikan pendidikannya di Gontor, mereka bebas memilih jenis dan jumlah aktivitas sesuai dengan keinginan dan kemampuannya.
Jika dicari, memang ada kesamaan fenomena antara Pondok Gontor dengan NU maupun Muhammadiyah. Beberapa kesamaan Pondok Gontor dengan NU, misalnya, Gontor mengumandangkan dua kali adzan dalam shalat Jum‘at; shalat Subuh-nya lebih sering menggunakan do‘a qunut; setiap selesai shalat fardhu, selalu ada wiridan yang dipimpin imam. Bahkan, dulu Gontor juga memiliki bedug, namun kini tak lagi digunakan. Sementara itu, kesamaannya dengan Muhammadiyah adalah sistem belajarnya yang klasikal-bersyahadah, serta pakaian masuk kelas-nya yang tidak bersarung, melainkan bercelana panjang dan baju yang dimasukkan. Secara administratif, pelunasan iuran sekolah pun menjadi prasyarat mengikuti Ujian Pertengahan maupun Akhir Tahun, dan lain sebagainya. Beberapa fenomena di atas sebenarnya juga dapat kita temukan di sejumlah negara Timur Tengah, Asia Selatan, ataupun Asia Tenggara. Lantas, apakah mereka yang di negara-negara tersebut juga berafiliasi NU atau Muhammadiyah? Tentu hanya pikiran sempit yang mengiyakan.
Penutup
Sebagai catatan akhir, agaknya perlu ada penelitian ataupun diskursus yang lebih lengkap dan lebih jelas tentang wujud riil model atau sistem pendidikan Gontor yang merupakan sintesa Asia-Afrika. Analisis tajam tentang beberapa buah pemikiran pendiri Gontor, baik yang tertulis, maupun berkembang dalam wacana pemikiran generasi penerusnya, akan menjadi khazanah tersendiri bagi dunia pendidikan maupun ilmu pengetahuan. Misalnya, mengapa pendiri Pondok Gontor berani mengambil sintesa Asia-Afrika. Ada keunikan dalam hal ini. Al-Azhar di Mesir dan Aligarh di India, misalnya, adalah perguruan tinggi, sementara Pondok Gontor hanya sekolah menengah, meskipun secara idealis diproyeksikan ke arah perguruan tinggi yang bermutu dan berarti. Keanehan lainnya adalah Syantiniketan, “padepokan” Rabindranath Tagore, yang nota bene beragama Hindu, mengapa pula juga dijadikan “kiblat” sintesa. Jika “sekedar” mencontoh kedamaiannya, mengapa tak bersintesa ke Madinah, yang jelas-jelas Islam dan beradab? Mungkinkah ada upaya lebih mengedepankan pola pikir fungsional daripada religius dari para pendirinya? Lantas, seberapa erat keterkaitan Gontor secara kurikuler dengan sintesanya, masih perlu diungkap.
KEPUSTAKAAN
Ali, Mukti. 1991. Ta’limu al-Muta’allim versi Imam Zarkasyi. Cetakan Pertama. Gontor Ponorogo: Trimurti Press.
Dhofier, Zamakhsyari. 1992. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES.
Castles, Lance. 1991. Gontor: Sebuah Catatan Lama. Terjemahan dari “Note on Islamic School at Gontor.” Penerjemah H. Hamid Fahmy, M.A. Gontor Ponorogo: Trimurti.
Panitia Penulisan Riwayat Hidup dan Perjuangan K.H. Imam Zarkasyi Pondok Modern Gontor Ponorogo. 1996. K.H. Imam Zarkasyi: Dari Gontor Merintis Pesantren Modern. Cetakan I. Gontor: Gontor Press.
Rahardjo, Dawam (Ed.). 1985. Pesantren dan Pembaharuan. Cetakan ketiga Jakarta: LP3ES.
Sekretariat Organisasi Pelajar Pondok Modern. 1988. AD & ART Organisasi Pelajar Pondok Modern Darussalam Gontor. Gontor Ponorogo: Darussalam Press.
_________. 1986. Sejarah Singkat Kepanduan Pondok Modern 1926-1974. Gontor Ponorogo: Darussalam Press.
_________. 1986. Tata tertib dan Program Kerja Organisasi Pelajar Pondok Modern. Gontor Ponorogo: Darussalam Press.
Sekretariat Pimpinan Pondok Modern Gontor. 1990. Etiquet: Adab Sopan Santun dan Cara Mengisi Kekosongan. Balai Pendidikan Pondok Modern Gontor: Darussalam Press.
_________. 1994. Serba Serbi Singkat tentang Pondok Modern Gontor: Diktat Pekan Perkenalan Tingkat Lanjut. Balai Pendidikan Pondok Modern Gontor: Darussalam Press.
Steenbrink, Karel A. 1986. Pesantren, Madrasah, Sekolah. Cetakan I. Jakarta: LP3ES.
Tim Penyusun Booklet Pondok Modern Gontor. 2000. Booklet Pondok Modern Gontor Ponorogo – Indonesia. Edisi Perdana. Gontor: Pondok Modern Gontor Ponorogo.
Zarkasyi, Imam. 1404. Butir-butir Pengertian Perjuangan dan Keikhlasan untuk Anak-anakku Pejuang di dalam Pondok. Cetakan I. Gontor Ponorogo: Sekretariat Pondok Modern Gontor.
_________. 1993. Diktat Khutbatul ‘Arsy dalam Pekan Perkenalan di Kulliyatul Mu’allimin al-Islamiyah Pondok Modern Gontor; Balai Pendidikan Pondok Modern Gontor: Darussalam Press.
Ziemek, Manfred. 1986. Pesantren dalam Perubahan Sosial. Terjemahan dari “Pesantren Islamische Bildung in Sozialen Wandel.” Penterjemah Butche B. Soendjojo. Cetakan Pertama. Jakarta: P3M.
[1]M. Dawam Rahardjo. “Dunia Pesantren dalam Peta Pembaharuan,” dalam M. Dawam Rahardjo (Ed.) Pesantren dan Pembaharuan. Cetakan Ketiga. (Jakarta: LP3ES, 1985), hal 37-38.
Komentar
Belum Ada Komentar