Blog Post
03
RUMAH BERSELIMUT DUKA.
- oleh Admin
- Kategori: Artikel Naskah Teater & Puisi
RUMAH BERSELIMUT DUKA.
Namun, tidak selamanya kebahagiaan akan didapatkan pada sebuah keluarga, jika diantara mereka tidak saling memahami dan mengerti, ada yang merasa menang sendiri dan berpihak sebelah, sehingga tercipta yang kalah dan menang bahkan diasingkan.
Peristiwa yang sangat menyakitkan, jika pada keluarga terdapat keanehan-keanehan. Seperti kehidupan didunia yang penuh dengan pertikaian, persaingan, hilangnya komunikasi yang sehat dintara mereka. Semua terjadi karena keangkuhan, keras kepala seorang kepala rumah tangga, karena mengetahui istrinya melakukan perselingkuhan dengan laki-laki lain.
Adegan I
Sastro : Aku… merasakan keanehan-keanehan pada sisi-sisi kehidupanku, aku merasa ada yang salah dalam emosi dan realitas, semua telah menjadi ruang permainan dimana harus ada yang kalah dan menang. Aku, menganggap semua itu hanya mimpi buruk, bahkan dalam ruang penantianku sendiri aku merasa kurang aman dari orang-orang disekelilingku, banyak hal yang tak kupahami pada orang-orang disekitarku, apalagi dengan orang-orang yang berada di luar jangkauanku.
Anakku bukan anakku, ia lahir dari rahim jalanan, pikiranku menjadi sangat tak terkendali pada istriku sendiri, akibat perbuatannya yang hina. Dan peristiwa itu masih ia sembunyikan sampai saat ini. Jika aku mempunyai tubuh yang masih sempurna aku pasti akan membunuhnya dengan pedangku ini, karena inilah satu-satunya kekuatan….. yang kumiliki (Tertawa).
Patri : Sastro sayang…. Sedang apa kau disana? (sahutnya, lalu masuk panggung) apa kau sudah mencuci kaki dan tanganmu?
Sastro : Bukankah kau sudah sering melakukannya padaku, apa kau lupa?! Atau kau memang sengaja ingin menghapus segala kenangan yang sudah menjadi langit-langit rumah kita, atau bahkan kau sudah tak mau melakukan hal itu padaku karena aku sudah tidak mampu memberikan apapun padamu. Meniduripun tak sanggup.
Patri : Sastro, apa yang kau katakan itu tuduhan bagiku! aku tak mengerti apa yang barusan kau ucapkan, terkadang pembicaraanmu hanya sebuah ingatan pada masa mudamu yang sampai saat ini membuat pikiranmu tergoncang.
Sastro : Sudah cukup! Jangan mengada-ada! Aku tak suka dengan gayamu!
Patri : Apa kau pikir aku selalu meniggalkanmu, seharusnya kau tau apa yang kurasakan pada keanehan-keanehanmu, kondisimu yang semakin buruk itu sudah diluar kemampuanku.
Sastro : Karena kau tidak selalu memperhatikanku!.
Patri : Tidak pernahkah kau berfikir, mendengar dan melihat, kenapa kau terus mencaci maki aku yang selalu menemani kamu tidur, menyuapi kamu makan, membersihkan kaki dan tanganmu bahkan memandikanmu.
Sastro : Aku tak pernah menyuruhmu melakukan hal itu padaku.
Patri : Aku melakukanya karena aku sayang kamu!
Patri naik ke atas panggung dan duduk, dan Sastro asyik dengan pedangnya
Sastro : Inilah satu-satunya kekuatanku, (menggeram). Pedang yang telah membawaku kerumah ini, rumah yang penuh dengan impian-impian buruk, pedangku merupakan tangan kananku, merampas hak-hak manusia yang menjadikan dunia ini menjadi medan peperangan, perang ideologi, perang budaya, perang agama, ataupun perang fisik. Memang dunia ini sungguh kejam, diisi dengan manusia berwatak binatang semua. (tertawa, lalu batuk-batuk dan lemas kecapaian)
Patri : Sayang…. Apa yang terjadi pada dirimu? (keluar dari panggung atas)
Sasto : Hah! Basa-basi!
Lalu Patri turun panggung membawa ember berisikan air hangat dan lap.
Patri : Sayang…. Ini airnya.
Sastro :Terima kasih (sastro meletakkan pedangnya dan mulai membasuh tangannya).
Patri : Biarkan aku membersihkan semua sejarah buruk yang sudah melekat di kaki dan tanganmu.
Sastro : Tidak usah! Nanti malah akan menyusahkanmu, karena pekerjaan ini tidak cocok untukmu.
Patri : Kenapa kau selalu memusuhiku?
Sastro : Aku tidak pernah memusuhimu, hanya saja aku takut tangan-tanganmu akan melukai tanganku seperti kau mengkhianati hatiku. Apa kau lupa peristiwa terburuk yang pernah kau lakukan????
Patri : Apa maksudmu?
Sastro : Aku tak punya maksud apapun!
Patri : Kau sudah gila!
Sastro : Aku tak peduli, terserah apa katamu.
Patri mau keluar panggung dengan kesal
Sastro : Patri! Mau kemana kau?
Patri : Aku tak tahan dengan ocehan-ocehanmu itu! aku akan keluar!
Sastro : Jangan keluar! Ini perintah! Aku takut kau meniggalkan aku dengan laki-laki lain.
Patri : Apa kau menfitnahku?
Sastro : Tidak! itu hanya sebuah kekhawatiran.
Patri : Aku keluar!
Sastro : Jangan keluar! Ini perintah! (berteriak)
Patri : Tolong…. Jangan berteriak! Jaga kesehatanmu
Sastro menendang ember airnya tumpah semua, Masuk panggung karta anak sastro dalam keadaan mabuk.
Karta : Malam ini seperti malam biasanya, malam tak seindah yang kubayangkan, malam tanpa kebahagiaan, sepi mencekam, tidak ada komunikasi yang menenangkan hati jiwa dan ragaku. Aku tak mau rumah ini menjadi isi orang-orang berwatak kejam. aku merindukan suara-suara yang keluar dari hati mereka. (menghampiri ayahnya)
Aku pulang ayah…. Aku membawa sisa-sisa jalanan yang gelap, tidak ada penerangan sedikitpun. Bulan, bintang tidak memberikan cahayanya untuk menerangi jalanku (mencium pipi ayahnya, ayah hanya diam) apa kabarmu ayah… ? apa kau sedang suntuk? kenapa semua nampak murung …(tertawa) malam yang mebosankan, air… Ember… lap….. tercecer dilantai, sampah! Ayah…. Apa yang terjadi pada ibu? Kau memarahinya lalu menangis.
Sastro : Dia tidak punya air mata….. dasar pemabuk!
Karta : Lalu, apalagi yang membuat rumah asing ini berantakan?
Sastro : Kau tak perlu tahu! urus dirimu sendiri …
Karta : (mendekati ayahnya) Ayah sastro! kau nampak sadis malam ini!
Sastro : Jaga mulutmu! Karta tidak bisakah kau sedikit menghormatiku sebagai ayah!
Karta : Hormat, hah… hormat katamu??? (tertawa) Hormat.… grak! Apa itu sudah cukup, ayah...! seperti kakakku yang selalu memakai seragam lalu menghormati badut-badut yang licik, kemudian merampas hak-hak kehidupan, mereka yang sok gagah, pemberani, dan merasa paling dihormati oleh orang-orang di sekitarnya. Hah... semua itu sandiwara.
Sastro : Jangan bawa nama saudaramu, apa yang kau ketahui tentang dia! kalau dibandingkan denganmu dia lebih pandai, ia bisa menghormati aku sebagai ayah dihadapannya
Patri : Karta kau minum lagi?
Karta : Hanya ini yang bisa aku lakukan ibu, inilah satu-satunya kelebihanku, dengan ini aku bisa melupakan kesedihanku dan bisa melayangkan jiwaku, meluapkan seluruh kesedihanku.
Sastro : Patri, apa itu yang kau ajarkan kepada anakmu.
Karta : Apa yang bisa kau berikan kepadaku, bulan, bintang atau masa depan. Ayah... Kau cacat….!!! kau tidak akan pernah tahu tentang pergumulan-pergumulan para anjing disana bukan? Apa yang bisa kau lakukan? Mereka bertaruh nasib demi kekuasaan yang mereka perebutkan. Berani mati untuk menang dan hidup untuk menjadi penguasa. Kau tak pernah berkomunikasi dengan baik, kau hanya berdiam diri seperti patung.
Sastro : Apa yang kau ketahui tentang diriku?! dengan dirimu sendiri saja kau tak faham. Lalu apa yang bisa kau berikan kepadaku ha….?? Uang???, kebahagiaan???, apa?! Minuman? Dasar pemabuk. Kerja….! Kerja….! Hasilkan upah dengan keringatmu sendiri!, dasar pengangguran. Dengan nada bicaramu yang sok tahu, sok pintar, apa yang kau ketahui tentang zaman saat ini? (menengok ke patri). Patri... apa itu yang kau ajarkan kepadanya?
Karta : Jangan salahkan ibuku!, semua ini gara-gara kamu yang hanya bisa duduk, sehingga kau tidak pernah tahu apa yang terjadi pada diriku.(mendekat kepada ayah)
Ayah….Malam ini adalah malam pengucapan, malam yang tepat untuk mengaduh semua kesedihan yang selama ini aku pendam dalam darahku. Ayah…. Apakah kau tak berhak untuk mendidikku, menasehatiku, aku anakmu. lalu kenapa kau menanam benih kedalam lubang kenikmatan ibuku. apakah karena nafsu? ayah….. apakah kau mencintai ibuku?
Patri : Karta! Jangan mencari gara-gara dengannya.
Karta : Ayah..., apakah kau kecewa dengan kelahiranku dirumah ini? menjadi bagian dari keluargamu, (patri menangis dan bingung). Ayah kau harus tahu, kenapa, ketika aku pulang kerumah ini selalu dalam keadaan mabuk, ayah aku kecewa…., aku merasa tak berharga dirumah ini, aku merasa terasing.
Parti : Karta… jangan teruskan!, kata-katamu akan menyinggung perasaannya.
Karta : Ayah… kau jangan takut. Aku takkan menyakitimu karena aku tak mengenal dirimu, bahkan, aku merasa tak berhak mengeluarkan pendapatku sendiri.
Sastro : Aku akan kebelakang. (sastro dan patri keluar panggung).
Karta : Jangan menghindar ayah….., aku merindukan belaian kasihmu (tidur dikursi, jatuh lunglai) ayah…. Aku merindukanmu… (Lampu mati perlahan-lahan).
Adegan II
Ibu masuk panggung dan membersihkan lantai, sepi memagut, mencekam dalam ruangan rumah itu, halilintar memerangi kesunyian, namun ia tak menghiraukannya, ia memikirkan keadaan rumahnya dan mengkhawatirkan anaknya, ia tetap membersihkan lantai rumahnya, sesekali ia mengusap dahinya. Dengan basah kuyup menggigil masuk sseorang gadis kerumah patri, ia membawa bunga.
Patri : Kau siapa?
Marta : Aku marta, aku kekasih karta, ia baik, ia menciptakan sebuah kekuatan cinta baru untukku yang dulu pernah mati, ia adalah dewa dalam kehidupanku.
Patri : Kau wanita malam? yang mencari kesenangan pada rumah-rumah berkalung mutiara, menghabiskan sisa-sisa malam untuk mencari kehangatan.
Marta : Tidak! aku mencintainya. Ia tangkas, sangat tangkas, ia sangat bergairah sekali dengan kehidupan yang kami jalani, bahkan aku takut bila jiwa ini tak berada disampingnya.
Patri : Apa yang pernah ia lakukan padamu?
Marta : Aku teringat ketika ia menyalamatkanku dari penjahat-penjahat malam, matanya sangat tajam, ia memelukku dan membawaku lari kedalam sebuah ruang yang mungkin takkan pernah bisa aku lupakan, ia kuat, sangat kuat, aku tak menyangka ada orang sekuat itu.
Patri : Kau tidak berkhayal, bukan!
Marta : Kau tidak percaya kalau aku mencitai anakmu? Aku akan memberikan bunga ini kepadanya, aku memetiknya dari mimpi-mimpiku.
Patri : Apa arti sebuah mimpi yang akan menjerumuskan dirimu sendiri pada bangunan-bangunan yang akan roboh dengan tekadmu sendiri.
Marta : Aku tak peduli apa yang menimpa pada diriku. aku benar-benar tak peduli pada dunia, bagiku cinta mempunyai ruang khusus yaitu antara aku dan karta, tak ada orang lain yang harus turut campur dengan kami.
Patri : Kau jangan bodoh! cintamu akan menguburkan dirimu sendiri, karena kau akan terlena dengan kenyataan-kenyataan buruk yang akan menimpamu, cinta akan merampas waktumu, kebahagianmu akan melupakan kesibukanmu, jangan paksakan dirimu untuk masuk keruang itu.
Marta : Aku tidak memaksakan diri, aku tidak bisa mengingkari kalau aku menginginkannya.
Patri : Jangan pernah mengharapkan cinta dari seorang lelaki
Marta : Boleh aku bertemu dengan karta?
Patri : Aku juga mengkhawatirkannya, seperti kau yang takut kehilangan kekasihmu.
Marta : Aku bertanya! Dimana dia? Aku sangat merindukannya.
Patri : Tidak ada kerinduan disini, yang ada hanyalah kebencian.
Marta : Disini memang tidak ada cinta yang tersisa, tapi aku tidak bisa menerima semua ini, aku ingin bertemu dengannya.
Patri : Jangan harapkan cintanya jika kau tidak ingin disakiti.
Marta : Itu resiko.
Patri : Bukan! Itu bukan resiko, melainkan keras kepala, pertimbangkanlah sebelum bertindak.
Marta : Apa yang sebenarnya kau inginkan dari karta.
Patri : Aku ibunya, aku berhak mengatur dia.
Sastro masuk panggung
Sastro : (Menyanyi) Di dunia ini tidak ada cinta, tidak ada cinta yang tulus, semuanya hanya permainan harus ada yang kecewa dan dikecewakan, ada yang menangis dan ada yang tertawa, cinta hanya sebuah kata-kata manis sebelum saling bercumbu, cinta hanyalah kesenangan sesaat, saling mencari untung, cinta menjadikan kawan menjadi lawan, matilah cinta… matilah cinta…!!!
Marta : Apa kau tak percaya cinta?
Sastro : Cinta damaikan hati... hentikan perang. ha…ha…ha… hentikan perang… hentikan perang… ha… ha.... (keluar).
Marta : Aku akan keluar, rumah ini tak seperti dulu, rumah ini nampak misterius, rumah ini tak mengenal aku lagi.
Patri : Aku takut, jangan keluar Marta,….. Marta….. Marta….. jangan tinggalkan aku sendiri….aku takut, dengan kengerian-kengerian dirumah ini (menahan marta, marta tak jadi keluar)
Marta : Rumah ini adalah kolam orang-orang yang akan menenggelamkan aku dalam gelombang-gelombang keanarkhisan.
Patri : Gadis malam, sadarkah dengan apa yang barusan kau ucapkan, kau takkan mengerti tentang anakku! Aku! Dan keluargaku. Kesedihan, tangis, kecemburuan, pertengkaran sudah menjadi warna-warni kehidupan di rumah ini, pada rumah berselimut duka. Anakku… darah dagingku, tak sepantasnya dia merasakan getah-getah kesedihan yang telah aku ciptakan dirumah ini. Seharusnya dia tak berada didunia ini, mereka semua telah merampas kesejahteraan. Mencuri nafas-nafas yang seharusnya bebas, menguburkan sejarah-sejarah nenek-moyang yang harus kita ketahui, menguburkan kehidupan dengan teori-teori ekonomi, teori politik dalam bejana kemenangan mereka.
Marta : Diantara kesedihan itulah aku akan berdiri menjadi kebahagiaan untuk dia.
Patri : Jangan suamiku akan menggodamu dia .....
Marta : Tidak! aku mengenal dia, ia adalah pahlawan.
Patri : Pahlawan? pahlawan keluarga yang akan menghancurkan setiap guratan dinding yang menjadi saksi kehidupan kami, merobohkan tiang-tiang kebahagiaan yang ingin kami miliki.
Marta : Tidak mungkin, karena aku tahu apa yang diharapkannya darimu, laki-laki itu mirip dengan watak ayahku yang telah lama meninggal dunia.
Patri : Tetapi kau tidak tahu sifat-sifatnya yang kaku kepadaku, bahkan dia tidak pernah mengharapkan cinta dariku.
Marta : Karena kau selalu membohonginya dengan alasan-alasan yang tidak bisa ia terima dengan apa yang ada dalam pikirannya, ia pernah bercerita tentang dirinya yang telah kau kecewakan, tentang kau dan karta. aku bangga dengan suamimu.
Patri : Apa kau menganggap aku pelacur?
Marta : Aku tak berkata seperti itu kepadamu.
Patri : Tapi kau berfikiran sama dengan sastro.
Marta : Karena dialah yang sering berdua denganku.
Patri : Kau tidak merebutnya dariku, bukan?!
Marta : Tidak mungkin, aku tidak selicik itu. Aku hanya mencintai karta.
Masuk panggung dengan membawa botol minuman dalam keadaan mabuk dan membawa gadis. Sedangkan marta hanya mampu memandang apa yang dilakukan karta dengan gadis yang tak dikenal itu.
Karta : Ayah…. Lihatlah aku membawa gadis, cantik, dia sangat bergairah diatas ranjang kubawakan hanya untukkmu, seperti kau yang selalu membawakan aku benih-benih kekecewaan, yang kini mengalir dalam mataku, menyatu dengan jiwaku, Ayah …. Lihatlah gadis manis ini, tidakkah kau merindukan ibu, seperti kau merindukan seorang perawan yang masih utuh badannya, tak terjamah dengan laki-laki manapun. (keluar).
Marta : Karta…. Tunggu!!… jangan tinggalkan aku, aku merindukanmu.
Karta : Jangan menahanku!, aku tahu ada cinta yang menahan dimatamu
Marta : Karta jangan pergi!!!!… karta!
Karta : Lepaskan tanganmu, dari dulu aku memang tak pernah mencintaimu, kau hanyalah perempuan malam yang pernah kutolong dari laki-laki jalanan, jangan ganggu kesenanganku.
Marta : Karta aku membawa bunga untukmu.
Karta : Lepaskan tanganmu! Kau akan kecewa bersamaku, aku tak menjanjikan apapun, kau takkan pernah mendapatkan kebahagiaan dariku, duniaku dan duniamu berbeda
Marta menangis menyesal setelah mengetahui karta dengan wanita lain
Marta : Kenapa semua ini terjadi padaku???(Mendekat ke patri)
Patri : (Duduk didepan cermin) Tidak ada cinta disini, tidak ada wanita yang memuaskan selamanya, semuanya bersifat sementara, tidak ada kecantikan, tidak ada wajah yang sempurna untuk manusia semuanya bertopeng, tidak ada hati yang lebih jujur, dari hati seekor hewan yang selalu menuruti keinginannya.
Marta : Tidak… aku harus menerima kenyataan ini dengan besar hati, kalah menang ada ditanganku sendiri (keluar panggung)
Patri : Semua harus ada yang baik dan buruk, sakit dan disakiti. laki-laki dan perempuan harus saling memahami untuk mewujudkan impian bersama, kenapa malah menjadi musuh, kenapa?? Aku tidak habis pikir, perbuatanku yang hina membuahkan hasil yang salah. Apakah ini kutukan suamiku????
Masuk panggung laki-laki dan permpuan,
Barta : Ayah aku datang…. membawa seribu kebahagiaan dari negeri perantauanku, lihatlah ayah… (wina memandang tiap sudut rumah) ayah, lihatlah aku tampak gagah sekali dengan seragam ini, dan siapa disampingku? Menantumu ayah… inilah keinginanmu sebelum aku meniggalkan rumah ini. (memandang wina)
Wina : Anda ibu barta (ibu sinis, keluar panggung)
Barta : (mendekat) dia ibuku.
Wina : Ia bersedih.
Barta : Sudah lupakan saja. Sayang inilah rumahku, disini aku lahir, aku mencintai rumah ini, sebelum aku meniggalkan rumah, rumah ini sangat ramai dengan canda tawa, melewati malam bersama, hanya aku dengan ayahku.
Wina : Lalu ibumu? (bertanya heran)
Barta : setiap malam ia meninggalkan kami berdua, aku tak tahu apa yang dia kerjakan (diam sejenak)
Wina : Sayang…. apakah kita akan melangsungkan pernikahan disini (melihat foto)
Barta : Ya… di rumah ini. Tempat kelahiranku, tempat ayah membesarkanku dan menaruh harapan yang besar padaku. Kau meragukannya?
Wina : Tidak
Barta : Apa yang kamu khawatirkan?
Wina : Tidak ada!
Barta : Lalu kenapa?
Wina : Jangan banyak Tanya! Aku tak suka.
Barta : Kau tidak bisu kan?
Wina : Tidak! Sayang…. aku merasa ada yang belum kukenal dirumah ini, (memandang foto) Siapa dia? Dia mirip denganmu.
Barta : Itu ayahku.
Masuk panggung sastro
Sastro : Oooh...Barta, akhirnya kau pulang juga nak....
Barta : Ayah… lihatlah, aku membawa kebahagiaan untukmu, calon istriku, ayah kami ingin menikah, memeriahkan pesta perkwinan dirumah ini, berdansa, minum anggur dengan orang-orang di sekeliling kita. (sastro mendekat pada wina).
Sastro : Apa kau pelacur?
Wina : Tidak.
Sastro : Bagus.
Wina : Kenapa kau bertanya seperti itu?
Sastro : Aku hanya ingin memastikan pilihan anakku, jangan kecewakan dia.
Wina : Ia pilihanku. Aku sangat mencintainya.
Sastro : Anakku kemarilah… aku sudah tua, sebelum aku meniggalkan dunia ini untuk selamanya, menikahlah…
Karta masuk panggung mabuk dan membawa botol minumannya
Sastro : hah!! Bedebah itu datang lagi!
Karta : siapa kau? Kau cantik, boleh aku menyentuh tanganmu?
Wina : Barta, orang ini menakutkan.
Barta : Hentikan Karta! Jangan goda kekasihku!!
Karta : Boleh aku memegang rambutmu? (hendak membelai memegang rambut wina)
Barta : Hentikan Karta! jangan sentuh! dia kekasihku, calon iparmu!!!(mendekat pada karta, menarik tangannya dan menyeretnya keluar panggung)
Karta : Aku tak peduli! aku suka dengannya. Gadis… boleh aku tidur denganmu, menghabiskan malam bersamamu??!
Wina menangis, barta menghampirinya
Barta : Sayang… tenanglah semua akan baik-baik saja, jangan takut aku tak akan meninggalkanmu sendiri. (lampu padam)
Adegan III
Diruang makan, sungguh suasananya sangat berbeda, sepi memagut, hanya suara kasih sayang seorang ibu kepada seorang anak, dan mereka telah siap semuanya, kecuali karta, masuk panggung dengan basah kuyup hanya memakai handuk, rambut berbusa, tanpa senyum, tanpa suara, dan langsung duduk.
Patri : Karta kau tak makan?
Karta : Tak ada yang harus kunikmati disini, kecuali hanya kesunyian, keterasingan, tidak ada yang mengenal dan kukenal, semua menutup diri.
Sastro : Jangan kau isi makan malam ini dengan teori-teori busukmu itu.
Karta : Makan malam ini tidak akan sempurna, (mengambil seiris semangka dan memakannya), Tidak ada senyum kebahaagiaan yang seharusnya dimiliki oleh setiap keluarga, namun apa yang terjadi di meja ini, tak sedikitpun suara yang terbesit dari bibir-bibir yang kuharapkan setiap waktu.
Patri : Karta…. makan malam bukan untuk bersenang-senang, dan aku tak suka gayamu yang sedemikian rupa, apa kau pantas duduk dikursi ini. semenjak kau dari amerika, kau membawa kebiasaan-kebiasaan aneh yang tidak aku kenal, kau sudah tak seperti dulu.
Karta : Aku tak mengenal kebiasaan-kebiasaan yang kau ajarkan padaku.
Sastro : Kau memang berasal dari kubangan babi, sehingga kau tak tahu apapun yang harus kau ketahui di negeri ini, apa yang kau ketahui, hah! kemajuan zaman, apa! Zaman edan! Gaya hidup bermewah-mewahan, dasar manusia! (berucap kepada patri lalu keselek)
Patri : Tidak! Sastro dia anakku, dia darah dagingku, yang aku lahirkan dengan keringatku sendiri.
Sastro : Tapi bukan darah dagingku, ia lahir bukan dari spermaku yang mempunyai jiwa yang besar, ia lahir dari laki-laki simpananmu, lihat! Darah dagingku, besar, gagah, dan berkuasa, tidak seperti dia yang hanya punya modal mode.
Karta : Kalian tidak usah bertengkar karena aku hanya mimpi dirumah ini, mimpi yang mengganggu kenyamanan keluarga ini. Tidak ada belas kasih untukku, belaian lembut tangan seorang ayah, cinta seorang saudara, rumah ini adalah rumah yang kelak akan menguburkan harapanku.
Barta : Karta… kau mau makan atau mandi?
Karta : (Mengambil buah semangka, memakannya) tidak ada air disini yang ada hanyalah air mata yang tidak akan pernah berhenti dari selokan-selokan yang ada dirumah ini.
Patri : Karta mandilah, agar otakmu lebih jernih.
Karta : Aku tidak mau mandi karena semangka ini lebih segar daripada air yang mengalir melalui pipa-pipa dipinggir jalan.
Wina calon istri barta ikut makan malam dengan keluarga barta
Wina : (mengambil semangka)
Karta : jangan sentuh semangka itu!! aku tak mau kau merasakan hal yang sama sepertiku.
Patri : Biarkan karta! Dia akan tahu kegelisahan-kegelisahan yang ada pada dinding-dinding rumah ini.
Karta : Ibu… dia bukan anakmu! Jangan jerumuskan dia pada arus besar yang telah menghancurkan impianku.
Sastro: Tidak, dia yang telah membawa kebahagiaan kerumah ini.
Karta : Karena kau tak pernah membagi kebahagiaan kepadaku.
Barta : Apa maksudmu?! Apa benar apa yang kau katakan?
Karta : Dia pilih kasih! (kepada sastro)
Barta : Aku tak pernah tahu urusanmu dengan dia!
Karta : Kau tak perlu tahu! Nanti kau akan meninggalkan rumah ini lagi.
Barta : Tapi aku saudaramu! Aku lahir ditanah ini.
Sastro: Tapi dia bukan anakku, aku tidak pernah menyetubuhi istriku lagi!
Barta : Ibu… kenapa kau tak mengeluarkan sepatah katapun???
Sastro: Kau jangan bicara! Tetap tutup mulut! Itu bukan urusanmu, biarkan mereka yang mencari solusi.
Patri : Kau mengadu domba anakmu sendiri, sementara kau akan menikmatinya. Kau benar-benar gila!
Sastro : Kau lebih gila! Pelacur!!!!! (batuk-batuk)
Barta : Ayah… kau tak apa-apa!
Sastro: (menganggukkan kepala)
Karta : Pembohong!!! (membuang isi semangka dari mulutnya)
Barta : Jangan saling menipu. Menipu diri sendiri untuk menyembunyikan kesalahan yang sudah menjamur.
Wina : Barta, jangan kau aduk-aduk makan malam ini dengan kekerasanmu!
Barta : Karta! (mencekoki irisan semangka kemulut karta) apa kau pikir bahwa orang tuamu tidak menyangimu, apa kau pikir ada orang tua yang ingin anaknya menderita, tidak… karta!
Patri : Hentikan!!!! Barta, kau tak pantas melakukan tindakan semena-mena, ini bukan tempat yang tepat untuk melakukan tugasmu, ini sudah berada diluar kehendakmu.
Barta : Karta! Kaulah yang tidak pernah memahami impian mereka kepadamu. Kau selalu mengabaikan permintaanya, Karta! lakukanlah sesuatu demi masadepanmu sendiri Pergilah kekamar mandi bersihkan tubuhmu!(keluar panggung)
Wina : Jangan lakukan hal itu lagi, aku takut kamu akan melakukan hal yang sama padaku
Sastro : Jangan takut, rumah ini aman untukmu.
Wina :Ternyata aku salah menilai rumah masa depanku, dulu aku pernah membayangkan kelak aku akan melahirkan kebahagiaan untuk kalian. Tapi setelah kakiku dirumah ini, rumah ini penuh dengan kebencian. Barta! Ternyata kedatanganmu menjadi beban keluargamu, dan aku yakin, esok.. pernikahan kita bukan membawa kedamaian melainkan kecemburuan.
Barta : Sayang… percayalah!, inilah satu-satunya istana impian kita. Wina, hari ini kita boleh terguncang oleh keadaan. Aku yakin esok kita temukan ladang cinta yang abadi. (Diam sejenak, suara barang jatuh dibelakang, masuk panggung karta, dengan membawa bunga)
Karta : Hah…. Omong kosong! Kalian berdua tidak akan mendapatkan cinta disini, rumah ini gersang, gundul, rumah ini tidak cocok untuk menanam benih cinta. (Mendekat ke-wina) terimalah bunga ini, kita pergi dari sini. Ayo…
Barta : Hentikan, karta! Ia kekasihku
Karta : Tersenyumlah untukku!
Barta : Cukup! Hentikan karta! ia takut dengan dirimu
Wina : Lepaskan tanganku!(kemudian menampar karta)
Sastro : Karta! Kau tak berhak mengangu dia, ocehan-ocehanmu itu akan menghancurkan hubungan mereka. Kau tidak punya cinta.
Wina : Barta, Kita keluar dari sini! (wina dan barta keluar panggung)
Sastro: Semuanya telah kehilangan hasrat, aku mulai kehilangan akalku, aku tak yakin semua akan terjadi pada keluargaku. Apakah ini karma? Aku mulai tak yakin dengan diriku sendiri. Lampu padam
Adegan IV
Sastro duduk diruang tamu, sepi memagut kedukaan yang dialami keluarga sastro, suara hujan yang terus turun-temurun deras… deras semakin deras, halilintar mewarnai keadaan, namun sastro tetap menyatu dengan gemuruhnya alam, tak lama kemudian muncul karta, basah kuyup.
Sastro : Aku mendengar kabar buruk, benar-benar kabar buruk akan menimpa keluargaku, aku melihat ketimpangan-ketimpangan yang ada pada setiap kepribadian diri mereka, karena tidak puas dengan apa yang dimilikinya, yang dilakukannya. Amarah, emosi, menyatu dengan kesadaran manusia, tiba-tiba saja menjadi segumpal niat jahat untuk saling melukai antara sesama, tanpa ragu lagi bertindak sesuai dengan keinginann hati.
Karta : Ayah… dengarlah suara nyanyian alam malam ini, kesunyian yang harus aku lawan, aku mendengar degupan jantungmu yang sudah melemah, nafasmu yang mulai habis dari masa kemasa, semuanya akan membusuk oleh ocehan-ocehanmu itu. Nikmatilah semua yang ada pada dirimu malam ini, selagi kau masih bisa bernafas.
Sastro : Apa yang kau pikirkan, setan!
Karta : Ayahku yang tua renta…., kau membuat hidupku tak pernah berarti, tidak ada kepastian untuk melangkah mencapai cita-cita, sehingga aku terpaksa menjadi buruh yang harus memeras keringatku untuk mendapatkan sepeser uang yang kuinikmati sendiri, satu malam satu botol wisky, itu cukup bagiku untuk melepas segala kekecewaanku. Setiap aku melangkah menurutmu salah, apa yang aku katakan bagimu segudang kebohongan. Ayah…. Adakah kebenaran yang pasti didunia ini?, tidakkah ada kebenaran dalam diriku?
Sastro : Kebenaran hanyalah milik orang yang merasa kuat alasannya, menurut dirinya sendiri, tidak pernah terlebih dahulu memperhitungkan apa yang akan terjadi esok.
Karta : Kau jangan banyak berdalih dihadapanku orang tua busuk!!, seperti orang-orang disekitarku, yang selalu mengaturku, merampas menit-menitku untuk merasakan kesenangan duniawi, tak pernah memberikan aku kesempatan yang tepat untuk bercerita, dan kau ayah... sekarang akan membusuk karena kengerian-kengerian yang kau ciptakan sendiri!!
Sastro : Kaulah yang busuk! hanya menyia-nyiakan waktu untuk bersenang-senang, tidakkah kau melihat orang-orang mati gara-gara asyik dengan kesenanganya, hanya kesenangan sesaat??
Karta : Cukup! Jangan teruskan lagi! Aku ngeri mendengarnya, aku sudah muak melihat keadaanmu seperti sekarang kau alami, tak bisa melakukan apapun untuk membahagiakan diri sendiri, apalagi membahagiakan orang lain, kau takkan pernah bisa!. Tanganmu yang pendek itu, tak bisa menyentuhku, ayah… aku mohon sambutlah tanganku ini. (mendekat).
Sastro : Jangan mendekat! Aku takut tangan-tanganmu menghisap darahku.
Karta : Ayah…. aku butuh kasih sayangmu!
Sastro : Jangan mendekat kataku! Kasih sayangmu akan membunuhku.
Karta : Begitu kejam kau kepada anakmu sendiri, sedikitpun kau tak mau menyentuhku.
Sastro : Karena aku tak pernah mengenalmu dari dulu.
Karta : Kau memang tak punya perasaan sedikitpun padaku.
Sastro : Keluar dari sini, jangan pernah kembali!!! aku tak bisa menerimamu.
Masuk seorang wanita, ia kekasih karta, lalu mendekat pada karta
Marta : Sayang…. Apa yang terjadi? Apa yang kau lakukan terhadap ayahmu, sehingga ia merasa ketakutan?
Sastro : Perempuan malang…. Aku tak pernah merasa takut kepada siapapun, apalagi kepada kau yang cantik.
Mendekat kepada marta
Sastro : Kau membuatku bertahan hidup lebih lama.
Karta : Marta … pergilah! ini urusan kami berdua, tak perlu kau ikut campur, pergilah….karena aku takut dia akan menggodamu.
Marta : Aku pergi. (keluar panggung, menangis)
Karta : Marta….
Sastro : Jangan ganggu gadis itu!
Karto : Aku mencintainya! Jangan coba-coba membuat keributan antara aku dan kekasihku.
Sastro : Kau tak pantas bersamanya, karena ia adalah mimpiku.
Karta : Kau memang tak pernah mengerti keinginanku, aku Manusia! yang berhak mencintai dan ingin di cintai.
Sastro : Apa yang kau ketahui tentang cinta? Kau dilahirkan tanpa cinta, kau dilahirkan dengan laki-laki biadab! Ibumu yang tak tahu diri itu, benar-benar membuatku kecewa, yang sampai saat ini masih membekas menjadi kebencian.
Karta : Kau yang biadab!
Sastro : Setan!(hendak menampar karta)
Karta : Aku memang harus melakukan sesuatu.(menangkis)
Karta keluar panggung mengambil tali untuk mengikat ayahnya, melepas pakaian, dan di belakang terdengar ada suara yang pecah.
Sastro : (tersentak kaget) Karta apa yang kau lakukan dibelakang?
Karta : (Belakang panggung) Aku mencari sesuatu untuk menguburkanmu, mengikatmu dengan tali yang sudah lama aku simpan dalam pikiranku, seperti kau mengecamku dengan perintah-perintahmu, aku menunggu kesempatan yang tepat untuk membunuhmu, akhirnya kesempatan itu datang juga, waktu yang tepat untuk mengirimmu ke alam yang cocok dengan sisi-sisi kehidupanmu.
Sastro : Aku tak sudi mendengarkanmu! Kau hanya menakut-nakutiku.
Karta : Ayah…. Berdoalah kepada yang memberikan nyawa untukmu, agar kau tidak mati dengan cepat.
Karta keluar dengan membawa tali
Sastro : Patri…!Patri istriku… kemana kau? kenapa kau tak ada saat aku membutuhkan pertolonganmu, patri lihatlah… apa yang akan dilakukan anakmu kepadaku.
Karta : Apa yang hendak kau lakukan, sadarkah kau dengan dirimu sendiri
Mendekat kepada sastro, dan menalikan talinya pada tubuh, kaki dan tangan sastro
Karta : Ayah… sungguh aku tak tahu kenapa aku dilahirkan dirumah ini, dibesarkan tanpa kasih sayang seorang ayah, merasakan pahitnnya masa lalu yang masih kau kenang pada lembaran-lembaran yang tak akan hilang.
Sastro : Lepaskan talinya! kau akan menyesal seumur hidupmu.
Karta : Ini sudah menjadi niatanku, aku takkan menyesali apa yang telah kulakukan. Kau tahu ini adalah jalan satu-satunya untuk mengurangi kekesalanku kepadamu.
Sastro : Ini tidak akan menyelesaikan masalah!
Karta : Tapi ini penyelesaian bagi dirimu, mengakhiri hayatmu.
Karta mengikatkan tali kelehernya, dan sastro meronta-ronta
Karta : Masih ingatkah kau dengan perbuatan yang kau lakukan pada masa mudamu, tannganmu mengaduk-aduk darah, dan itu menjadi kebiasaanmu, tidak ada beban, tidak ada sedikitpun belas kasihan dihatimu.
Sastro : Tidak! Aku hanya membela diri. Aku melakukannya karena itu tugasku!
Karta : Sebab kau di bayar! Demi kepentingan mereka!
Sastro : Hentikan! Jangan teruskan! (batuk-batuk) aku tidak tahu apa-apa tentang dirimu, ibumu yang telah membodohimu, dia yang melahirkanmu.
Adegan V
Pesta perkawinan barta dan wina, suasana panggung meriah sekali, dan para tamu berdansa semua, menikmati acara pernikahan itu. Sedang patri berdansa dengan laki-laki simpanannya. Tiba-tiba karta masuk panggung memanggul mayat ayahnya.
Karta : Tidak ada pesta perkawinan disini yang ada hanya upacara kematian ayahku. Ibu… lihatlah suamimu yang malang ini, kenapa kau menikmati malam dengan laki-laki lain, siapa dia? Apakah dia ayahku yang sebenarnya? Lalu ini mayat siapa? Keluar! habiskan malam ini dengan duka. Tidak ada perkawinan disini. (para tamu keluar)
Patri : Turunkan mayatnya ( menurunkan mayatnya)
Karta : Jangan coba-coba medekatinya, atau menyentuhnya sedikitpun! Kau mengkhinati cintanya.
Barta : Karta kau tidak sedang mabuk, bukan?! (patri mendekat dan memeluk suaminya)
Karta : Aku menemukan mayat ini dibelakang.
Barta : Kenapa? Saat kebahagiaan ingin menjamah rumah ini kau meninggalkanku ayah… bagaimana mungkin ini bisa terjadi, aku tak percaya!!!!!!!!!!!!
Karta : Jika kesucian cinta berasal dari rahim jalanan. Maka kebencian akan selalu menjadi sekutu dalam kehidupan. Dan kematian menjadi solusi terakhir.
Catatan:
Komentar
Belum Ada Komentar