Blog Post
06
PESANTREN GONTOR DAN UJIAN NASIONAL
- oleh Admin
- Kategori: Artikel Tentang Pendidikan Pesantren
PESANTREN GONTOR DAN UJIAN NASIONAL
Drs. H. Nashrulloh ZM Zarkasyi[1]
Hembusan kabar melegakan datang dari Jakarta. Mahkamah Agung memutuskan bahwa Ujian Nasional tidak layak diselenggarakan dan akhirnya juga tidak boleh menjadi standar kelulusan siswa. Sungguh ini merupakan keputusan yang menunjukkan akal sehat, sekaligus menyelamatkan muka pendidikan nasional, yang bertujuan mendidik manusia berbudi pekerti luhur serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Tak ketinggalan, merupakan kado indah bagi para guru yang baru saja memperingati Hari Guru.
Akibat Ujian Nasional (Unas) yang dipaksakan banyak mudharat muncul darinya. Melalui program ini, standar kelulusan seluruh siswa sekolah di masing-masing tingkat (SMP/Madrasah Tsanawiyah, dan SMA/Madrasah Aliyah) akan disamakan. Awalnya bertujuan sekedar mengukur kualitas siswa (menurut standar Diknas), namun akhirnya dipakai sebagai standar kelulusan siswa. Amat mengherankan, bagaimana mungkin hal itu bisa menjadi pemikiran para pengambil kebijakan di Jakarta. Efeknya, para guru pun berlomba “memandaikan” siswa-siswanya secara instan. Yang agak baik, meskipun akibatnya bagi pendidikan tidak baik, adalah dengan mengkursus atau menge-drill para siswanya dengan soal-soal yang kira-kira akan diujikan dalam Unas. Yang jelek, karena khawatir para siswanya banyak yang tidak lulus sehingga sekolahnya dianggap kurang bermutu, para guru pun berusaha membocorkan soal dan membuatkan kunci jawabannya. Kemudian, dari kasus-kasus yang telah terungkap, mereka mendiktekan jawaban soal-soal itu kepada siswa-siswanya. Siswa pun kehilangan jati diri. Ada yang berani membayar “bocoran soal” hingga jutaan rupiah. Pengambil kebijakan di atas boleh menyangkal dengan mengatakan bahwa itu sekedar kasus, yang sangat kecil prosentasinya. Tapi, itu yang justru berbahaya. Yakni, jika sekolah-sekolah itu, apalagi sekolah unggulan yang telah berhasil mencetak lulusan berkualitas, menyetujui Unas. Artinya, sekolah-sekolah unggulan pun telah kehilangan jati dirinya, kekhasannya. Apalagi jika karena jujur, atau berbeda orientasi pendidikannya, tingkat kelulusannya kalah dengan sekolah yang kurang unggul.
Dari sisi biaya, ujian itu telah menghambur-hamburkan dana negara milyaran, bahkan mungkin trilyunan rupiah, untuk membiayai pembuatan soal, pendistribusiannya, maupun untuk kepanitiannya. Belum lagi, penggagas proyek ini tentunya juga akan mendapatkan imbalan dari idenya yang tak ideal itu. Sungguh, pemubadziran yang nyata. Sementara, ratusan ribu sekolahan rusak, atau setidaknya tidak memiliki sarana belajar yang memadai. Bagaimana penggagas itu mempertimbangkan idenya? Para pengamat yang baik pun berujar, bagaimana sekolah-sekolah yang minim sara belajarnya harus disamakan engan sekolah yang memiliki sarana belajar yang komplit lagi modern. Apa tidak sebaiknya, dana-dana itu dialokasikan bagi pembangunan sekolah yang roboh, atau pemenuhan kelengkapan sekolah yang kurang, atau modernisasi sekolah yang memang sudah siap.
***
Di Pondok Modern Darussalam Gontor (PM Gontor) terdapat bahasa sederhana tentang pendidikan. Bahwa, sekolah adalah untuk mencari ilmu, bukan mencari ijazah. Oleh karena itu, yang terpenting adalah penguasaan ilmu, bukan kemampuan menjawab soal ujian. Ilmu yang telah dikuasai itu, kelak, harus diamalkan. Jika tidak, akan menjadi seperti pohon yang tidak berbuah. Tidak ada gunanya. Nah, ilmu yang bermanfaat bagi masyarakat itulah ijazah yang sebenarnya.
Para siswa di PM Gontor dididik agar menjadi orang yang berguna. Sarananya, ilmu pengetahuan yang diajarkan di dalamnya, selama menjadi siswa di Gontor. Dan, sebagian ilmu itu tidak diujikan di dalam Ujian Nasional. Apakah kami, guru-guru sampai hati, melihat para siswa yang sesungguhnya menurut standar kami baik, akan tetapi menurut standar Unas yang terbatas itu dianggap tidak baik, dan akhirnya tidak lulus. Jerih payah kami mendidik mereka pun seolah mubadzir. Yang jelas, kami menjadi zhalim kepada para siswa itu.
Masih terkait dengan itu, makna ujian di PM Gontor bukan sekedar untuk mengukur kemampuan belajar, melainkan justru anak akan mendapat tambahan ilmu darinya. Bagi PM Gontor, ilmu akan bertambah sebelum ujian, ketika ujian, dan sesudah ujian. Maka, di Gontor, kesyukuran tidak untuk mensyukuri hasil ujian, melainkan selesainya ujian. Dalam pada itu, nasehat kyai kepada para siswa adalah harapan agar selalu bersyukur. “Jangan hanya berpikir naik atau tidak naik saja, atau lulus dan tidak lulus saja. Itu akan membuat kalian kecewa.” Yang terpenting, lanjut kyai, “Ilmumu bertambah atau tidak? Jawabannya pasti bertambah. Hanya, pertambahan ilmu antara seorang siswa dengan siswa yang lain tidak sama. Maka wajar jika nanti ada yang naik atau lulus, dan ada yang tidak naik atau tidak lulus. Semuanya harus menerima dengan ikhlas.” Jadi, kesyukuran itu ditujukan bagi bertambahnya ilmu ketika dan setelah ujian.
Perlu ditambahkan, kepada para siswa juga dijelaskan bahwa guru-guru dan panitia ujian sudah bekerja dengan keras, siang-malam: membuat soal, mengoreksi, membuat peringkat kenaikan, dsb. Para guru sudah melakukan evaluasi dengan jujur dan standar. Mereka ikhlas tidak dibayar sepeser pun. Maka dari itu, keputusannya juga harus dihargai, diikhlaskan. Di PM Gontor, itu semua merupakan wujud dari pendidikan.
Unas memang ironis. Bagaimana mungkin guru-guru di setiap sekolah yang mendidik para siswa, mengetahui kemampuan siswa dengan sebenarnya, sekaligus mempunyai harapan kepada siswanya, kok, tidak diberi kewenangan menentukan kelulusan siswa. Yang menentukan atau yang membuat standar kelulusan, justru orang-orang atau lembaga lain yang tidak mengetahui keadaan siswa. Perbedaan masing-masing sekolah dalam menentukan standar kelulusan juga tidak seharusnya digugat dan kemudian dipaksa untuk disamakan dengan Unas. Biarlah masing-masing sekolah menentukan kelulusannya, berdasarkan orientasi masing-masing. Nanti, masyarakat sendiri yang akan menilai, seperti apa kualitas sekolah tersebut. Para lulusannya mampu bersaing atau tidak.
Gontor sendiri, orientasi kelulusan siswanya bukan sekedar untuk menembus perguruan tinggi dalam negeri, melainkan jauh lebih luas dari itu. Bagi siswa yang mampu yang masih ingin sekolah, insya Allah akan dapat melanjutkan studinya, kemana pun, dan itu sudah cukup banyak. Sementara, yang tidak ingin atau tidak mampu melanjutkan studi, akan kembali ke masyarakat, berdakwah, atau kemudian menjadi tokoh masyarakat, baik formal maupun non-formal. Contohnya pun sudah banyak. Kenyataannya, PM Gontor, sejak puluhan tahun lalu, telah mengantarkan para lulusannya menembus universitas-universitas nasional dan dunia, dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan. Mengapa hal itu bisa terjadi? Menurut pendiri Gontor yang tak pernah berhenti bersyukur, karena para alumni Gontor itu telah memahami makna mencari ilmu, serta telah mengetahui cara belajar yang benar dan efektif.
Ada cerita. Salah satu mantan Presiden RI pernah bertanya kepada calon Dubes yang akan diangkatnya. Karena melihat perilakunya, kinerjanya, pola pikirnya, dsb., sang presiden pun bertanya, “Bapak dulu alumni mana?” Dijawab oleh calon dubes, “Saya alumni S2 Fisipol Universitas Indonesia.” Belum puas dengan jawaban itu, sang Presiden kembali bertanya “Sebelumnya?” Dijawab lagi, “Fakultas Usuluddin IAIN Syarif Hidayatullah?” Ternyata jawaban itu belum mengena bagi Presiden. Lantas, pertanyaan kedua pun diulang lagi, “Sebelumnya?” Tak urung, calon Dubes pun menjawab “Gontor.” Demi mendengar jawaban terakhir itu, sang Presiden pun puas, sambil berkata pendek, “Oh, pantas.” Yah, itulah Gontor. Orang yang jeli akan mengenali ciri khas tamatannya.
Moga tulisan ini ada manfaatnya, serta menjadi hiburan bagi sekolah-sekolah atau lembaga pendidikan yang terbiasa menentukan kelulusannya sendiri, bukan melalui standar pemerintah yang sangat sering berubah-ubah, dan tergantung selera.
Gontor, 26 Nopember 2009.
Komentar
Belum Ada Komentar