Blog Post
10
PENDIDIKAN AKHLAQ VERSUS PENDIDIKAN BUDI PEKERTI (SAJA)
- oleh Admin
- Kategori: Artikel Pendidikan
PENDIDIKAN AKHLAQ VERSUS PENDIDIKAN BUDI PEKERTI (SAJA)
Nashrulloh ZM
Pada awal dekade 1980-an telah ada upaya gigih menggantikan pendidikan agama dengan pendidikan moral Pancasila. Segala upaya dilakukan untuk meyakinkan rakyat, agar ajaran moral yang teramat temporer itu dapat diterima. Penataran P4 diwajibkan sejak anak masuk SMP; setiap penafian/keraguan terhadap Pancasila selalu dipotong dengan dalih subversif. Namun, hasilnya sama sekali nol. Sebabnya, barangkali karena ada upaya mengeliminir pengaruh agama terhadap bangsa, desakralisasi nilai-nilai ajaran agama.
Kemudian, semasa Prof. B.J Habibie naik daun dan menjadi idola di tanah air dengan IPTN-nya, Pak Rudi —begitu panggilan akrab untuknya— mengatakan bahwa untuk mengejar ketertinggalan bangsa, maka jalan yang harus ditempuh adalah meningkatkan sumber daya manusia (SDM), sehingga SDM yang dimiliki bangsa Indonesia akan menjadi siap pakai menuju era tinggal landas, dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Maka, kemudian mulai bermunculanlah sekolah-sekolah kejuruan/ketrampilan semacam STM. Namun, anak-anak tersebut kemudian hanya rajin dan kemudian mahir tawuran. Lumayan, jika kemudian mau bekerja tanpa pilih-pilih, setelah lulus. Hanya saja, tak banyak yang kemudian bisa mandiri, kreatif: menciptakan pekerjaan untuk orang lain.
Pada waktu yang sama, Prof. Dr. Fuad Hassan —yang ketika itu menjabat Mendikbud— menentang keras pikiran Pak Rudi di atas, yang dianggapnya mengarahkan bangsa Indonesia menjadi buruh pabrik, kuli bangunan; menjadi manusia praktis, bukan idealis. Maklum saja, Pak Fuad Hassan adalah ahli filsafat dan kebudayaan, yang sehari-hari mencermati perilaku manusia, pikiran manusia, dsb., dan bagaimana membentuk agar manusia tetap menjadi manusia. Sementara Pak Rudi yang “biang-”nya teknologi, terutama kedirgantaraan, sehari-harinya menatap mesin-mesin, benda mati, dan bagaimana cara membuatnya lebih baik, lebih cepat, lebih canggih; konsentrasinya pada benda/hasil, bukan manusianya, prosesnya.
Kemudian, semasa menjadi Wakil Presiden, Megawati pernah mengatakan bahwa sebaiknya di sekolah-sekolah diajarkan pelajaran budi pekerti, supaya anak didik menjadi beradab, dan sebagainya, dan sebagainya.
Masih ada ketakpercayaan terhadap pelajaran agama sebagai ajaran moral pada diri decision maker. Terlanjur bertumpuk kontradiksi yang ada dalam diri manusia Indonesia kemudian, akibat kesalahan orientasi pendidikan. Akibatnya, sekitar 20 tahun kemudian, akhir tahun 1990-an, terciptalah “generasi instan” bangsa Indonesia, yang maunya serba cepat, serba singkat, ingin segera berubah, dengan revolusi (perubahan yang hampir-hampir tanpa proses dan persiapan matang). Sekolah menjadi ajang tawuran. Wibawa guru hilang, kecuali sangat sedikit tersisa ketika di dalam kelas. Image tentang sekolah pun telah berubah, bukan lagi sebagai lembaga pendidikan, melainkan sekedar lembaga pengajaran, apalagi lembaga pembudayaan. Meskipun telah bersekolah, anak didik tidak menjadi santun, kreatif, idealis, melainkan brutal, manja, dsb.
Pikiran anak sekolah kemudian adalah bahwa setelah sekolah SD, lantas melanjutkan ke SMP, terus SMA, dan berakhir di perguruan tinggi. Bagi anak yang mampu, sekolah akan terhenti setelah tamat perguruan tinggi. Itupun bukan berarti siap berkarya, berkreasi, melainkan siap mencari pekerjaan dan relasi. Sementara, bagi mereka yang berasal dari keluarga tak mampu, sekolah akan terhenti di SD, SMP, atau SMA, dan menganggur, atau setidaknya menjadi TKI di luar negeri.
Dulu anak tamatan SD sudah berani kawin dan bisa bertanggung jawab, berkerja secara mandiri. Tetapi sekarang, tamatan perguruan tinggi masih belum dewasa, secara psikologis, intelektual, bahkan sosial. Ada alumni S2 yang masih minta kepada ibunya supaya ditelponkan/dicarikan taksi, dipilihkan bajunya, atau dimasakkan air untuk mandi. Sepele tapi amat fatal, tak ada kemandirian.
Ketakkonsistenan arah pendidikan di Indonesia menyebabkan bangsa ini terpuruk, euforis, brutal, dan tak lagi setia kawan. Ada keterputusan generasi yang menyebabkan bangsa ini menjadi turun kelas. Untuk itu, perlu rektualisasi arah pendidikan nasional, yakni dalam rangka memanusiawikan manusia. Sehingga, dunia pendidikan kelak akan kembali mampu menciptakan manusia santun, tahu diri, idealis, beradab, mandiri, dsb. Bukan sekolah yang justru hanya mengajak orang berangan tanpa berpikir dan berbuat realistis.
Sekolah hanya mengajarkan ilmu, pengetahuan, cara bekerja (dengan jenis pekerjaan tertentu). Orientasinya job skill, bukan mental skill. Akibatnya, seorang tamatan STM yang tidak mendapat pekerjaan akan menganggur, karena tidak memiliki inisiatif berdikari, idealisme perjuangan. Mereka menjadi manusia yang hanya ingin bekerja, bukan berkarakter pencipta (tidak kreatif), sementara lowongan pekerjaan di dalam negeri begitu sulit didapat. Akhirnya, luar negeri adalah tujuan utama. Resikonya, orang akan tergantung kepada luar negeri.
Kecuali itu, pendidikan budi pekerti hanya akan membuat orang menjadi baik, yang bisa jadi tidak beriman. Prof. Dr. Slamet Mulyana pernah mengatakan, “Agama Jawa mengutamakan tingkah laku yang baik dan benar”, berdasarkan ajaran kitab Ramayana dan Mahabarata. Laku utama adalah isi agama Jawa. Yang dimaksud dengan laku utama adalah melakukan kewajiban yang sebaik-baiknya dengan tidak merugikan orang lain. Maka, agama ini mungkin hanya dapat dihayati secara individual. Karena untuk mengalahkan hawa nafsu orang perlu bertapa atau berguru. Ajaran budi pekerti tanpa dilandasi ajaran agama bisa jadi akan membuat orang egois.
Oleh karena itu, yang paling dibutuhkan oleh anak didik saat ini adalah ajaran moral dengan landasan agama: pendidikan akhlaq. Dengan itu, anak didik akan terbentuk menjadi manusia yang humanis, beradab, berakhlaq mulia. Sehingga, kelak akan tercipta masyarakat madani, sebagaimana yang dicita-citakan oleh bangsa ini, sebagaimana juga Rasulullah SAW bersabda, innama bu'itstu mu'alliman dan innama bu'itstu liutammima makarima al-akhlaq, Rasulullah diutus sebagai guru, guru yang akan menyempurnakan akhlaq manusia. Wallahu a'lam bi al-shawwab.
Komentar
Belum Ada Komentar