Blog Post
07
OPTIMALISASI PERAN SEKTOR PENDIDIKAN DALAM PENGEMBANGAN EKONOMI ISLAM DI INDONESIA
- oleh Admin
- Kategori: Artikel Tentang Pendidikan Pesantren
OPTIMALISASI PERAN SEKTOR PENDIDIKAN DALAM PENGEMBANGAN EKONOMI ISLAM DI INDONESIA:
*Pengalaman Pondok Modern Darussalam Gontor*
K.H. Abdullah Syukri Zarkasyi, M.A.**
A. PENDAHULUAN
Menurut para ahli, sejalan dengan rencana pembangunan yang diagendakan oleh pemerintah, sejak akhir dekade 60-an pendidikan kita cenderung berkiblat kepada sistem pendidikan yang dipraktikkan di Amerika Serikat yang menekankan bahwa praktik pendidikan merupakan instrumen dalam proses pembangunan. Ketika pelaksanaan pembangunan dititikberatkan pada pembangunan ekonomi, praktik pendidikan dijadikan alat untuk dapat mendukung pembangunan ekonomi dangan mempersiapkan tenaga kerja yang diperlukan. Dengan kata lain praktik pendidikan yang bersumber pada kebijakan pendidikan diarahkan untuk memenuhi kepentingan pembangunan ekonomi.
Tetapi, praktik pendidikan yang semacam ini tidak serta merta diterima oleh dunia pendidikan kita. Resistensi terhadap sistem pendidikan yang berorientasi kerja ini timbul karena pendidikan dengan lembaga-lembaganya masih dan biasanya dilihat sebagai suatu lembaga non profit yang menetapkan tujuan-tujuan yang diyakini melebihi sekadar memproduksi tenaga kerja. Di samping itu, mengaitkan dunia kerja dengan dunia pendidikan dipandang dapat menimbulkan erosi idealisme dan kepribadian pada out put pendidikan. Sebab, dengan orientasi itu, porsi pendidikan moral dan mental attitude akan banyak digantikan dengan penekanan pada aspek job skill kepada peserta didik.
Resistensi ini tampak lebih kentara di lembaga-lembaga pendidikan Islam, khususnya pesantren. Pendidikan pesantren tidak pernah dimaksudkan untuk mencetak tenaga kerja. Sebab pesantren adalah lembaga tafaqquh fi al-din, tempat para santri menimba dan memperdalam ilmu-ilmu agama (thalabul `ilmi). Seusai menamatkan masa belajarnya di pesantren, para santri mengemban misi mengamalkan dan menularkan ilmunya kepada kaumnya.
Sikap pesantren yang kurang apresiatif terhadap dunia usaha ini pada berikutnya mengalami perubahan seiring dengan perubahan dan kemajuan zaman. Secara perlahan beberapa pesantren mulai membuka diri untuk membuka usaha-usaha ekonomi. Hal ini dilakukan untuk mempertahankan kemandirian pesantren dan menjaga eksistensinya serta untuk menjadikannya sebagai lembaga pendidikan yang maju di tengah arus perkembangan dan perubahan yang berlangsung begitu cepat. Di samping itu, belajar dari sejarah mengenai hidup dan matinya pesantren-pesantren pada masa lalu, disadari bahwa salah satu faktor penting bagi terwujudnya kemandirian, kelangsungan hidup, dan kemajuan pesantren sebagaimana dimaksudkan di atas adalah kepemilikan sumber dana yang mandiri. Walaupun demikian, harus tetap disadari bahwa fitrah pesantren adalah tetap lembaga pendidikan agama dengan pengertian yang luas, di mana pengembangan ekonomi merupakan salah satu bagian darinya. Dengan kata lain pendidikan di pesantren tidak bertujuan untuk pengembangan ekonomi, tetapi pengembangan ekonomi itu diupayakan untuk kepentingan pendidikan santri dan masyarakat. Karena itu pengembangan ekonomi di pesantren tetap harus berpijak pada nilai-nilai dan jiwa pesantren.
Di antara lembaga pendidikan pesantren yang sejak lama telah merintis dan mengembangkan usaha-usaha ekonomi adalah Pondok Modern Darussalam Gontor. Selanjutnya, tulisan ini bermaksud mengungkapkan secara singkat pengalaman Pondok Gontor dalam mengembangkan usaha-usaha ekonomi mandiri untuk menjadi bahan pertimbangan bagi upaya-upaya optimalisasi peran pendidikan dalam pengembangan ekonomi Islam di Indonesia.
B. PONDOK DAN PENGEMBANGAN EKONOMI
Pondok Modern Darussalam Gontor, atau lebih populer disebut Pondok Gontor, adalah salah satu dari sekian banyak pondok yang terdapat di negeri ini. Pondok Gontor didirikan pada hari Senin, 12 Rabi’ul Awwal 1345/20 September 1926 oleh tiga bersaudara yang dikenal dengan sebutan “Trimurti.” Mereka itu adalah K.H. Ahmad Sahal, K.H. Zainuddin Fannani, dan K.H. Imam Zarkasyi. Saat ini Pondok Gontor dipimpin oleh K.H. Abdullah Syukri Zarkasyi, M.A., K.H. Hasan Abdullah Sahal, dan K.H. Drs. Imam Badri. Sejak tahun 2002 Pondok Gontor telah memiliki 7 cabang yang berlokasi di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan di Sulawesi Tenggara. Di samping pondok-pondok cabang yang langsung dikelola oleh Gontor, terdapat tidak kurang dari 160-an pesantren yang dibina oleh alumni Gontor yang tersebar di seluruh Indonesia dan luar negeri.
Secara umum pesantren atau pondok didefinisikan sebagai “lembaga pendidikan Islam yang berasrama, kyai sebagai sentral figurnya dan masjid sebagai titik pusat yang menjiwainya.” Definisi ini memperlihatkan bahwa inti dari kehidupan pesantren adalah pendidikan. Sebagai lembaga yang mengintegrasikan seluruh trilogi pusat pendidikan (sekolah, rumah, dan masyarakat), pesantren menyelenggarakan pendidikan yang bersifat total, mencakup seluruh bidang kecakapan anak didik; baik spiritual (spiritual quotient), intelektual (intellectual quotient), maupun moral-emosional (emotional quotient). Untuk itu, lingkungan pesantren secara keseluruhannya adalah lingkungan yang dirancang untuk kepentingan pendidikan. Sehingga segala yang didengar, dilihat, dirasakan, dikerjakan, dan dialami para santri adalah dimaksudkan untuk mencapai tujuan pendidikan.
Praktik ekonomi di lingkungan pesantren merupakan instrumen dalam proses pendidikan. Pendidikan pesantren pada umumnya lebih menekankan pembentukan sikap mental (mental attitude) daripada pembekalan ketrampilan kerja (job skill) Karena itu, praktik-praktik ekonomi menjadi subordinat dan sekaligus sarana untuk mendukung keberhasilan pembinaan mental attitude yang dikehendaki yang didasarkan pada nilai-nilai dan jiwa pesantren.
1. Pengembangan Ekonomi di Pesantren
Setidaknya ada tiga alasan mengapa pesantren perlu merintis dan mengembangkan usaha-usaha ekonomi, yaitu untuk menjaga eksistensinya, mempertahankan kemandiriannya, dan untuk membina masyarakat di sekitarnya.
a. Menjaga eksistensi
Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa dalam sejarah timbul dan tenggelamnya pesantren didapati bahwa masalah pendanaan menjadi salah satu faktor mengapa sebuah pesantren tidak lagi dapat bertahan dan harus ditutup. Bersamaan dengan beberapa faktor lain semisal kaderisasi dan mis-manajemen, pendanaan merupakan salah satu faktor penting yang harus diperhatikan secara serius oleh pesantren. Di antara sumber dana potensial yang dapat digali oleh pesantren di luar dana rutin adalah penghasilan dari pengelolaan usaha-usaha ekonomi.
b. Mempertahankan kemandirian
Kemandirian merupakan nilai dasar yang inheren dalam pesantren. Pesantren adalah wadah pendidikan agama yang lahir dan berkembang dari usaha mandiri masyarakat. Kemandirian ini penting karena dengannya pesantren memiliki kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri; baik yang menyangkut tujuan dan orientasi pendidikan, metode yang diterapkan, kurikulum yang digunakan, buku-buku yang dipakai, dll. Salah satu faktor yang ikut mempengaruhi kemandirian ini adalah pendanaan. Sebab, jika pesantren bergantung kepada pendanaan dari pihak lain akan terbuka peluang intervensi pihak lain itu dalam menetapkan nasib dan masa depannya. Kemandirian ini tidak berarti pesantren bersikap eksklusif dan kaku apa lagi menolak dana bantuan dari pihak lain. Bantuan-bantuan itu akan diterima sejauh tidak mengganggu kemandiriannya.
c. Pembinaan masyarakat
Pesantren adalah lembaga pendidikan yang lahir dari dan untuk masyarakat. Melalui kegiatan pendidikan dan pengajaran, pesantren berusaha membangun sebuah masyarakat ideal sebagaimana dicita-citakan. Dengan kata lain, pesantren merupakan pusat pengembangan dan pembangunan masyarakat yang secara terus menerus mengupayakan wujudnya sebuah masyarakat yang adil dan makmur, aman dan sejahtera dunia akhirat. Perwujudan masyarakat yang dikehendaki itu tidak dapat dicapai secara sempurna tanpa dibarengi dengan pemenuhan kebutuhan ekonomi mereka.
2. Penyiapan Sumber Daya Manusia
Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul merupakan kata kunci keberhasilan pembangun ekonomi. Adanya teori dan sistem ekonomi yang baik belum menjadi jaminan bagi keberhasilan pembangunan ekonomi. Dalam bidang pendidikan dikenal ungkapan yang berbunyi:
الطريقة أهمّ من المادّة, المدرّس أهمّ من الطريقة, روح المدرّس أهمّ من المدرّس.
Artinya: Metode itu lebih penting daripada materi, guru lebih penting daripada
metode, jiwa guru lebih penting dari guru.
Dalam penyiapan SDM ini ada beberapa dimensi penting yang perlu memperoleh perhatian, yaitu nilai, pola pikir, dan tindakan.
a. Penanaman Nilai-nilai Pesantren
Di antara nilai-nilai yang relevan dengan usaha pengembangan ekonomi yang ditanamkan oleh pesantren kepada para santrinya adalah `adalah, amanah, shidq, ihsan, dan mandiri. Kelimanya merupakan bagian dari nilai-nilai pesantren yang memiliki relevansi dengan penyiapan sumber daya manusia yang dibutuhkan untuk pengembangan ekonomi.
1) `Adl
`Adl bermakna adil. Untuk adil dengan berbagai nuansanya al-Qur’an juga menggunakan istilah qisth, wasth, juga mizan. Semua pengertian dari berbagai kata itu bertemu dalam suatu ide umum sekitar “sikap tengah yang berkeseimbangan dan jujur”. Ciri pertengahan dan keseimbangan dalam Islam tercermin dalam pandangan Islam tentang keseimbangan antara dunia dan akhirat, iman dan amal, ibadah dan mu’amalah, jasmani dan ruhani, akal dan hati, pikir dan zikir, individu dan masyarakat, dll. Di samping itu, kata `adl juga dilawankan dengan zhulm, ini berarti bahwa bertindak adil itu adalah yang tidak menzalimi maupun dizalimi.
Penerapan nilai ini dalam bidang ekonomi dapat dilihat dari sikap pertengahan Islam terhadap individu dan masyarakat; tidak menganiaya masyarakat, terutama yang lemah, dan tidak pula menganiaya hak-hak dan kebebasan individu. Tidak menolak dunia, tetapi tidak juga menjadikannya sebagai tujuan. Tidak membolehkan hidup bermewah-mewah, dan tidak pula menganjurkan hidup miskin. Tidak membolehkan sikap israf (berlebih-lebihan) dan tabdzir (boros), juga tidak membolehkan sikap bukhl (kikir) dan tamak kepada harta. Penerapan prinsip keadilan ini akan dapat menghapuskan kesenjangan dalam kehidupan ekonomi masyarakat.
2) Amanah
Amanah berarti dapat dipercaya dan bertanggungjawab. Amanah merupakan dasar bagi ketahanan masyarakat, kestabilan negara, kekuasaan dan kehormatan. Dalam bidang ekonomi, amanah berarti memberikan setiap hak kepada pemiliknya baik sedikit maupun banyak, tidak mengambil lebih banyak dari yang ia miliki, dan tidak mengurangi hak orang lain.
3) Shidq
Shidq berarti jujur dan benar. Bersikap jujur itu berarti berpikir dan berperilaku obyektif, yang sebenarnya dan apa adanya. Lawan shidq adalah kidzb yang berarti bohong. Nilai ini tidak diragukan lagi kepentingannya bagi pelaku ekonomi.
4) Ihsan
Secara harfiyah ihsan berarti kebaikan (Q.S. 16:90, 55:60, 2:84, 2:178, 2:229, 4:62: 9:100, 46:15) . Dalam makna luas ihsan mencakup tingkah laku yang baik, jujur, bersikap simpati, bekerjasama, pendekatan yang beperikemanusiaan dan ikhlas, mementingkan orang lain, menjaga hak orang lain, memberikan sesuatu kepada orang lain walaupun melebihi yang sepatutnya diterima oleh seseorang itu, dan berpuas hati dengan sesuatu walaupun nilainya kurang dari yang semestinya. Dengan pengertian ini ihsan dapat dipandang melebihi `adl. Jika keadilan dianggap sebagai dasar dari kehidupan bermasyarakat, maka ihsan adalah keindahan dan pelengkapnya. Jika keadilan dapat menyelamatkan masyarakat dari gejala yang tidak sehat dan kejahatan, ihsan akan menjadikan kehidupan manusia lebih mesra dan harmoni. Dalam hal berusaha, ihsan tidak hanya memerintahkan untuk bekerja, tetapi memerintahkan bekerja dengan lebih baik, lebih tekun, dan lebih sungguh-sungguh, serta lebih inovatif. Prinsip ihsan ini memiliki dimensi sosial yang sangat kental. Suatu kegiatan bisnis yang dijalankan dengan prinsip ini akan menghasilkan pelayanan atau pertolongan yang mengatasi kepentingan diri sendiri. Prinsip ini juga akan mendorong pelaku bisnis untuk bekerjasam dengan pihak lain untuk kebaikan masyarakat dan dalam masa yang sama ia juga dapat menikmati keuntungannya.
5) Kemandirian
Sebagai wadah pendidikan agama yang lahir dan berkembang dari usaha mandiri masyarakat, kemandirian merupakan nilai dasar yang inheren dalam pesantren. Hal ini tercermin dalam kemandirian pesantren untuk menentukan tujuan, metode, kurikulum, pendanaan, dll. Penerapan nilai kemandirian untuk bidang ekonomi di lingkungan pesantren diwujudkan dengan penugasan warga pesantren (guru dan atau santri) untuk mengurus usaha-usaha ekonomi pondok secara mandiri. Dengan cara ini mereka bukan sekadar menjadi aktor figuran yang berperan sebagai pelengkap dari aktor utama yang didatangkan dari lingkungan luar pesantren. Tetapi para guru dan atau santri itu adalah benar-benar aktor utama yang menentukan perjalanan roda perekonomian pesantren.[1] Pengalaman ini menjadi pelajaran sangat penting khususnya bagi santri, yang tidak dapat begitu saja dikorbankan demi tuntutan memaksimalkan peroleh keuntungan material.
b. Pembentukan Pola Pikir
Pola pikir SDM yang mengelola usaha-usaha ekonomi pesantren harus sesuai dan terpadu dengan nilai-nilai pesantren secara keseluruhan.
1) Ekonomi untuk pendidikan
Di atas segalanya yang harus pertama kali dipahami adalah bahwa pengembangan ekonomi adalah bagian dari proses pendidikan dan pengajaran di pesantren. Ia bukan merupakan usaha yang semata-mata bertujuan memaksimalkan keuntungan. Pertimbangan-pertimbangan yang digunakan untuk menetapkan kebijakan ekonomi tidak melulu untung rugi, tetapi harus dirujukkan kepada seperangkat nilai dan filosofi yang melandasi keseluruhan aktifitas pendidikan dan pengajaran.
2) Pesantren sebagai lapangan perjuangan
Para pelaku ekonomi di pesantren harus menyadari bahwa pesantren bukanlah lapangan untuk mencari penghidupan. Pesantren adalah tempat untuk berkorban dan berjuang, bondho bahu pikir lek perlu sak nyawane. Dalam konteks ini tidak relevan untuk bertanya: “apa yang saya dapat dari pesantren, tetapi apa yang dapat saya berikan kepada pesantren”. Beberapa semboyan lain yang akrab di telinga santri, di antaranya adalah “hidupilah pondok, jangan menggantungkan hidup kepada pondok” dan “berjasalah, tetapi jangan meminta jasa,” serta “kepentingan pondok, di atas kepentingan pribadi.”
Ini tidak berarti bahwa para pelaku ekonomi di pesantren tidak diperhatikan kesejahteraan hidupnya. Perhaatian itu diberikan dalam batas-batas yang pantas dan wajar.
c. Tindakan Praktis
Tindakan harus dilakukan sejalan dengan pola pikir dan didasarkan pada nilai-nilai pesantren secara keseluruhan. Pada tataran praktis tindakan ini diwujudkan dalam bentuk keterlibatan langsung dalam mengelola usaha. Hal demikian akan mempercepat kematangan tindakan. Peningkatan mutu tindakan dilakukan juga melalui studi banding dan berbagai pelatihan dan orientasi.
C. USAHA-USAHA EKONOMI YANG DIKELOLA PONDOK
Pondok Modern Gontor memberikan perhatian yang serius terhadap berbagai upaya mandiri untuk mencukupi segala sarana dan prasarana serta berbagai kebutuhan lain demi berlangsungnya proses pendidikan dan pengajaran di dalamnya. Usaha-usaha ini kemudian dilembagakan menjadi sebuah yayasan pada tanggal 18 Maret 1959 dengan nama Yayasan Pemeliharaan dan Perluasan Wakaf Pondok Modern (YPPWPM).
Upaya mewujudkan jiwa mandiri itu dilakukan dengan membuka berbagai unit-unit usaha; baik yang ditangani oleh santri-santri yunior yang tergabung dalam Koperasi Pelajar OPPM dan Gerakan Pramuka, maupun yang ditangani oleh santri senior (guru) yang tergabung dalam Koperasi Pondok Pesantren (Kopontren) dengan nama “Koperasi La-Tansa Pondok Modern Gontor”.
Berikut ini adalah unit-unit usaha yang dikelola oleh para guru:
1. Penggilingan Padi
2. Apotik
3. Percetakan
4. Toko Buku dan Alat Tulis
5. Photokopi dan Alat Tulis I
6. Photokopi dan Alat Tulis II
7. Wartel I
8. Wartel II
9. Toserba I (UKK)
10. Toserba II
11. Toko Palen I
12. Toko Palen II
13. Toko Bahan Bangunan
14. Warung Bakso
15. Kantin I
16. Kantin II
17. Pabris Es
18. Pusat Perkulakan Sembako
19. Jasa Angkutan
20. Kredit Usaha Tani
21. Budidaya Ayam Potong
22. Perkebunan
23. Pertanian
Sedangkan unit usaha atau koperasi yang di dikelola oleh siswa yang tergabung dalam Organisasi Pelajar Pondok Modern (OPPM) dan Gerakan Pramuka Pondok Modern Gontor, antara lain:
- Koperasi Pelajar
- Koperasi Warung Pelajar
- Fastfood
- Kantin/Kafetaria
- Kafe
- Koperasi Dapur
- Toko obat-obatan
- Potokopi
- Potografi
- Kedai Perlengkapan Pramuka dan benda-benda pos, dan
- Kedai Binatu.
Di samping unit-unit usaha ini, Pondok juga mendirikan usaha sosial berupa Balai Kesehatan Santri dan Masyarakat dan Wisma Darussalam, yang terakhir ini menyediakan sarana untuk diklat dan penginapan.
D. PONDOK DAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT SEKITAR
Pemberdayaan masyarakat sekitar dalam bidang ekonomi dilakukan melalui penyerapan tenaga kerja dalam berbagai sektor pekerjaan di Pondok atau melalui berbagai bentuk lainnya. Dalam bahasa Pondok, upaya sedemikian ini biasa diistilahkan sebagai “berkah Pondok untuk masyarakat sekitar”. Saat ini Pondok Gontor I saja menyerap tenaga kerja tidak kurang dari 450 orang.
Di samping itu berkah Pondok untuk masyarakat juga berupa pelibatan masyarakat sebagai penyetor makanan yang dikonsumsi santri dan penyediaan jasa dan sarana kebutuhan mereka. Mereka itu berjumlah tidak kurang dari 200 orang (80%-nya penduduk desa Gontor dan selebihnya dari desa-desa yang bersebelahan dengan Gontor).
Upaya lain yang dilakukan Pondok untuk membina dan memberdayakan masyarakat sekitar adalah dengan menjadi penyalur Kredit Usaha Tani (KUT) untuk para petani di desa-desa sekitar Pondok.
Pondok juga memberi kesempatan kepada para petani untuk mengelola lahan pertanian milik Pondok dengan sistem bagi hasil. Di samping itu, di bidang pertanian, Pondok menyalurkan pupuk kepada para petani. Para petani membayar pupuk tersebut pada saat panen dengan harga dasar. Gabah hasil panen tersebut oleh para petani dijual ke Pondok untuk konsumsi para santri.
Salah satu unit usaha Pondok yang berlokasi di desa Gontor, yaitu Usaha Kesejahteraan Keluarga (UKK), berfungsi sebagai penjual grosiran bagi para pemilik toko-toko di desa Gontor dan sekitarnya.
Di bidang kesehatan, Pondok mendirikan Balai Kesehatan Santri dan Masyarakat (BKSM). Di samping pelayanan kesehatan, kegiatan sosial BKSM lainnya dilakukan dengan pengobatan masal dan khitanan massal untuk masyarakat yang diadakan secara insidentil.
D. PENUTUP
Demikianlah, semoga bermanfaat. Wallahu al-muwaffiq ila aqwam al-thariq.
Wassalam.
* Disampaikan dalam Summit Meeting Nasional Ekonomi Islam 2004 “Agenda Gerakan Ekonomi Islam Indonesia Satu Dekade 2004-2014, Selasa-Rabu, 23-24 Maret 2004, di Saphier Century Hotel, Yogyakarta, diselenggarakan oleh P3EI Fakultas Ekonomi dan Program Studi Ekonomi Islam, Universitas Islam Indonesia.
** Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor.
[1] Sekadar sebagai contoh, di samping Pondok Gontor, keberhasilan penerapan kebijakan pengelolaan mandiri ini juga terlihat pada koperasi Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan, yang memiliki aset tidak kurang dari 4 milyar untuk usaha-usaha ekonominya.
Komentar
Belum Ada Komentar