Blog Post
26
ISTIQAMAH ALUMNI DAN ALUMNI ISTIQAMAH
- oleh Admin
- Kategori: Artikel Tentang Pendidikan Pesantren
ISTIQAMAH ALUMNI DAN ALUMNI ISTIQAMAH
Awaluddin Faj, M.Pd.I
Pondok Modern Darussalam Gontor memang pondok yang unik, Sekolah ini menamakan dirinya sebagai sekolah guru, tepatnya sekolah persemaian guru Islam. Namun, kenyataannya lulusan yang dihasilkan sangat beragam, meskipun beberapa di antaranya melalui proses, seusai dari Gontor. sebelumnya. Ada alumni Gontor yang menjadi pengusaha, olahragawan, seniman, dan tentu saja juga ada yang menjadi tenaga pendidik, baik untuk tingkat menengah maupun tingkat pendidikan tinggi.
Keberagaman profesi lulusan itu, di samping karena kelanjutan proses setelah tamat/keluar Gontor, juga karena pas di Gontor sendiri para santri sudah terbiasa dihadapkan banyak pilihan aktivitas, baik yang berkaitan dengan olahraga, kesenian, keilmuan, maupun ketrampilan lainnya, hal yang saat ini sering disebut life skill.
https://www.youtube.com/watch?v=J3IoVW9uSS8
Sehingga, meskipun “hanya” tamat Gontor pun, santri telah mampu menentukan pilihan hidupnya, mau jadi apa saja, baik aktivitas yang bersifat profit, maupun sekedar aktivitas untuk mengisi kekosongan, semacam aktif di organisasi. Yang pasti, Gontor menganut pendidikan mental skill, bukan job skill. Anak-anak santri mengikuti aktivitas, bukan untuk menjadi tenaga langsung di bidang yang dipilihnya itu. Mereka tak sedang belajar menyanyi untuk menjadi penyanyi, sebagaimana juga tak belajar bermusik sekedar untuk menjadi pemusik; atau mengikuti kursus mengetik untuk menjadi tukang ketik; serta kursus jurnalistik tidak untuk menjadi wartawan. Mereka belajar tentang kehidupan; belajar mental skill dan bukan job skill, sehingga mereka akan mengetahui dan memiliki wawasan tentang ragam kehidupan; belajar aktif kreatif. Sebuah pendidikan yang amat mahal, yang membuat keluaran Gontor tak pernah berpikir untuk menganggur.
Kalau ditanya kepada setiap alumni yang sudah lulus, maupun kepada saya pribadi, tak ada yang tak bersyukur dan berbangga menjadi santri Gontor bahkan bisa sampai menjadi alumni Gontor seperti saat ini, Namun, kesyukuran dan kebanggaan itu harus diletakkan pada tempat yang benar, dengan pikiran dan hati yang benar.
Menjadi Alumni Gontor harus menjadi mundirul Qoum, Perekat ummat, jangan setengah hati maupun setengah-setengah menjadi alumni Gontor, seperti diingatkan oleh Trimurti, “Jangan musyrik atau setengah-setengah!” Tentu, ada alasan kuat mengapa hal ini harus disadarkan kepada anak-anak santri maupun alumni Gontor.
Masih ingat tidak, dulu ketika akan masuk Gontor dan ditanya, tentang cita-cita setelah tamat Gontor, mungkin sebagian kita menjawab ingin menjadi kyai, da’i. Hampir tak ada yang menjawab, ingin menjadi pedagang, seniman, penulis, atau profesional yang lain, tapi kondisi saat ini sangat berbeda, banyak para santri yang ingin menjadi pengusaha karena saat ini banyak alumni Gontor yang telah menjadi pengusaha hebat.
Yang unik juga terjadi, begitu besar rasa cinta para alumninya kepada almamaternya yaitu Gontor, sehingga memunculkan sentimen ke-Gontor-an yang begitu mendalam. Hal itu wajar terjadi, sebab para santri telah hidup bersama, dalam arti sebenarnya, dalam sebuah komunitas yang relatif homogen. Homogenitas yang dimaksud di sini adalah dalam hal makan, berpakaian, belajar, serta sejumlah perilaku hidup lainnya. Sehingga, homogenitas itu mampu menghilangkan heterogenitas yang dibawa sebelum masuk Gontor, heterogenitas yang berkaitan dengan latar belakang santri. Bukan hanya itu, kebersamaan dalam waktu yang cukup lama, sekitar 5-7 tahun, mampu mematrikan sejumlah sentimentalitas serta romantisme pada diri santri Gontor, hal yang mengakibatkan keinginan santri bernostalgia setelah tamat (atau setelah tidak) di Gontor lagi begitu besar.
Kenangan di kelas, kenangan menjadi pengurus, kenangan sekamar bersama, seanggota dalam klub olahraga atau kesenian, semuanya akan menciptakan sentimen tersendiri. Jika sentimentalitas itu dikelola dengan manajemen sumber daya manusia yang baik akan mampu menciptakan solidaritas yang sangat kuat, baik dalam organisasi politik, organisasi massa, maupun korporasi dalam dunia usaha.
Asal, nilai-nilai kebaikan yang ditanamkan Gontor masih sama-sama dipegang. Sebab, dalam nilai itu tidak sekedar terkandung aturan main, aturan berpikir, maupun berperasaan antar sesama rekan, melainkan juga terikut do‘a para pendiri untuk para santrinya yang telah, tengah, dan akan belajar di Gontor, serta kemudian berjuang di masyarakat.
Menjadi alumni yang istiqomah adalah keharusan, nilai-nilai dan jiwa kesederhanaan, keikhlasan, ukhuwwah Islamiyah, kemandirian, maupun kebebasan, harus tetap dipegang. membuka kembali sejumlah dokumen pondok, semacam buku Pekan Perkenalan, Etiket, Piagam Wakaf, serta sejumlah “buku suci” pondok lainnya, yang pernah dipelajari semasa di Gontor. Juga, dengan “menyetrumkan” diri ke Gontor, dengan cara mengunjungi pondok dan bersilaturrahimi kepada kyai, guru-guru, dan teman-temannya.
Untuk bekal hidup para alumni bermasyarakat, harus dapat membuka kembali Diktat Pesan, Nasehat, dan Wasiat pendiri Gontor, K.H. Ahmad Sahal, dan K.H. Imam Zarkasyi. Tentang bagaimana harus menjaga harga diri, bagaimana aktif di dalam masyarakat, bagaimana menjadi murid, bagaimana menjadi guru, bagaimana menjadi intelek/imuwan, bagaimana sekolah di luar negeri, dsb., tertulis lengkap di dalamnya. Tak ketinggalan, uraian panjang lebar itu selalu diakhiri dengan do’a dari kedua beliau Allahu yarhamhuma, sebagai rasa cinta yang mendalam kepada para murid dan alumni Gontor.
Semoga kita mampu menjadi alumni yang istiqomah dalam kebaikan dan pergerakan. Amiin Allahumma Amiin
Komentar
Belum Ada Komentar