Blog Post
01
Gontor Pendidikan Mental dan Skill
- oleh Admin
- Kategori: Artikel Tentang Pendidikan Pesantren
GONTOR, PENDIDIKAN MENTAL & SKILL
Nashrulloh ZM
Seorang alumni Gontor bentandang ke pondok, seperti biasanya, untuk silaturrahim, melepas rindu kepada pondok, kyai, maupun guru-guru dan teman-temannya. Dia kini tengah menyelesaikan program S2-nya di salah satu perguruan tinggi di Malaysia, setelah menyelesaikan S1-nya di Al-Azhar Cairo Mesir. Kecuali prestasi akademik, kini, pemuda yang mengaku orang tuanya tidak termasuk mampu itu, juga menjadi “pengusaha” di bidang jasa komputer. Padahal, sebelumnya, sama sekali dia tidak pernah belajar/kursus komputer, bahkan kursus mengetik, karena ketakmampuannya itu. Namun, kemauannya yang keras, keuletan, dan ambisi, serta “dendam”-nya, menggiringnya menjadi manusia seperti itu. Bahkan, ketika belajar di Cairo dulu, sebuah organisasi mahasiswa memilihnya menjadi sekretaris organisasi, karena dia salah satu —atau bahkan satu-satunya— yang mampu mengetik cepat di komputer dalam program Arab maupun Latin.
Dari ceritanya di atas saya memetik sekelumit pemahaman tentang siratan hasil pendidikan mental skill dari Pondok Modern Gontor. Fenomena di atas juga bukan kebetulan di Gontor, melainkan suatu hal yang biasa, efek dari arah pendidikan yang mental skill, bukan job skill.
Gontor memang menyelenggarakan kursus komputer serta sejumlah ketrampilan lainnya. Juga, membebaskan santrinya untuk beraktivitas dalam bidang apa saja, yang bersifat ilmiah maupun skill. Namun, kursus-kursus dan aktivitas tersebut tidak semata-mata diarahkan demi tujuan job skill, melainkan mental skill. Sebab, hasil pendidikan mental skill terkadang justru tidak terduga. Tidak ada keterkaitan secara signifikan antara pemilihan atau keikutsertaannya pada kursus/aktivitas tertentu selama di Gontor dengan rencana/pemilihan profesi di masa mendatang.
Pernah, seorang alumni yang bekerja di bidang media massa cetak —karena dulu di Gontor senang pada aktivitas tulis-menulis— saya tanya. Apakah pemilihan profesinya yang sekarang ini sudah direncanakan ketika dia dulu aktif di pembuatan majalah dinding pondok? Jawabnya, “Tidak.” Lantas, kembali saya tanya, apakah aktivitasnya selama di pondok membantu aktivitasnya sekarang? Dia katakan, “Oh, jelas, tapi bukan pada sisi ketrampilannya, melainkan pada pengalaman, pergaulan, penyikapan, dan tanggung jawab dalam aktivitas itu. Soal ketrampilan, saya mendapat banyak tambahan setelah saya terjun di dunia profesi saya yang sekarang.” Jadi, Gontor, dengan orientasi pendidikannya yang mental skill, hanya memberikan dasar berpijak, bersikap, serta penunjang bagi pemilihan dan kelanjutan seorang anak didik berprofesi. Soal kematangan dan profesionalitas diri akan menyusul kemudian.
Maka, tak mengherankan jika para alumni Gontor melontarkan pengakuan-pengakuan, bahwa aktivitas kepramukaannya selama di Gontorlah yang mengantarkannya menjadi kepala desa; pendidikan Gontor mampu menyelimutinya dari udara dingin menggigit di Jerman; ketaatan, ketekunan, serta kesiapannya secara sadar menjadi sekretaris pimpinan pondoklah yang menyebabkannya menjadi dosen teladan; atau aktivitas muhadharah (latihan berpidato)-lah yang mengantarkannya menjadi penyiar radio; dsb.. Pengakuan-pengakuan seperti tersebut bukan barang langka di Gontor, tak seperti umumnya di sekolah-sekolah menengah, pemerintah (negeri) maupun swasta.
Pendidikan mental skill menanamkan keyakinan, kemauan keras, niat yang benar, serta rasa percaya diri. Dalam pendidikan mental skill seorang anak didik dipahamkan bahwa aktivitas bukan hanya alternatif, melainkan khazanah, sehingga dasar pemilihan aktivitas bukan sekedar berminat atau tak berminat, melainkan pemahaman bahwa semua aktivitas akan bermanfaat bagi pengembangan diri. Sehingga, semakin banyak aktivitas akan semakin membuat seseorang lebih percaya diri; mampu bertempat atau ditempatkan di mana saya, ketika harus menentukan profesi, memilih pekerjaan; yang pada gilirannya akan sanggup mencetak manusia serba bisa, memasuki dunia kerja dengan bekal mental, bukan uang suap atau koneksi.
Sebenarnya, ciri pendidikan mental skill bukan monopoli pondok pesantren saja, melainkan juga sekolah umum, bahkan juga sekolah kejuruan, tapi pada masa lalu. Sehingga kita akan menemukan seorang dokter yang sastrawan, ekonom tapi juga musikus, ahli filsafat tapi pandai main biola, dsb. Sayang, ciri itu kini telah hilang. Hasil didikan sekolah kita hanya mampu mencetak penganggur yang manja, mau berkerja jika sesuai dengan sekolahnya, meskipun sebenarnya tidak selalu mampu atau menguasai bidangnya; menembus lowongan kerja dengan suap dan koneksi. Orientasi pendidikan yang job skill, juga hanya akan mencetak buruh, buka majikan. Inilah saatnya melakukan reorientasi pendidikan, mengembalikan fungsi pendidikan pada tempatnya.
Dengan mengikuti banyak aktivitas selama di Gontor, santri Gontor akan memiliki banyak alternatif aktivitas untuk mengisi waktu luangnya, setelah menyelesaikan pengabdian dan selama menanti aktivitas lain yang tepat, sesuai dengan minat dan talentanya.
Komentar
Belum Ada Komentar